Pengembangan Diri · March 14, 2024

Gita-Wirjawan-dan-Dr-Fahruddin-Faiz-berbicara-pengalaman-filsafatnya

Akal Budi Tidak untuk Disia-siakan – Filsafat dan Pendidikan di Indonesia

Dalam wawancara YouTube yang menarik dengan Gita Wirjawan, Dr. Fahruddin Faiz membahas perjalanan akademisnya, dengan fokus pada pengalaman filsafatnya. Mari kita gali lebih dalam ke dalam pandangannya yang unik terhadap filsafat dan pendidikan di Indonesia.

Gita Wirjawan membuka percakapan dengan menggambarkan kekaguman pada sosok Plato, yang menurutnya luar biasa karena selalu menulis tanpa mencantumkan tokohnya sendiri, melainkan selalu merujuk pada gurunya. Dr. Fahruddin menanggapi ini dengan membahas Socrates, seorang filsuf Yunani kuno yang dikenal karena melawan Sophists.

Sophists, seperti dijelaskan Faiz, adalah orang-orang pintar yang menggunakan kepintarannya untuk kepentingan pribadi. Socrates, sebaliknya, melawan mereka dengan menekankan pentingnya berpikir terbuka dan menolak upaya mengindoktrinasi. Namun, hal ini menjadikan Socrates dianggap membahayakan negara karena dianggap merusak pikiran anak-anak muda. Faiz menyoroti risiko yang dihadapi Socrates dalam perjuangannya untuk kebebasan berpikir.

Pengalaman Dr. Fahrudin sebagai generasi terakhir yang mendaftar sebagai dosen S1, menunjukkan bahwa saat itu lebih diutamakan lulusan S2. Meskipun menghadapi beberapa kendala, Dr. Fahrudin berhasil melalui tantangan tersebut dan melanjutkan perjalanan akademisnya hingga S3.

Ia mencatat bahwa filsafat tidak populer dan bahkan dicurigai, terutama setelah ada penyebaran fatwa bahwa filsafat itu haram. Namun, ia mempertanyakan kebijakan ini mengingat bahwa peradaban-peradaban besar dunia justru muncul saat filsafat mencapai puncak kejayaannya.

Kejayaan Islam dari abad ke-7 hingga abad ke-13, khususnya era Zaman Abbasiyah di abad ke-8 sampai ke-13. Era ini, merupakan masa keemasan filsafat dan ilmu di dunia Islam, dengan dukungan yang luar biasa dari penguasa saat itu. Mereka menunjukkan keterbukaan terhadap ilmu dari berbagai sumber, termasuk India, Tiongkok, dan Yunani. Tokoh-tokoh seperti Ibnu Sina, Al Khwarizmi, dan Hamid Al Ghazali sebagai polimatik yang menguasai banyak dimensi ilmu. Mereka menunjukkan keterbukaan terhadap berbagai bidang ilmu, mengejar pengetahuan dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Keterbukaan dan etos ilmiah yang tinggi pada masa itu perlu dijadikan inspirasi untuk menghidupkan kembali semangat keilmuan di zaman sekarang.

Gita Wirjawan dan Dr Fahruddin Faiz berbicara pengalaman filsafatnya

Gita Wirjawan mengakui bahwa filsafat seringkali dianggap tidak populer dan bahkan dicurigai di masyarakat. Dr. Fahruddin Faiz memberikan pandangan bahwa kejayaan peradaban besar dunia, termasuk Yunani, Islam, dan Barat, terutama terjadi saat filsafat mencapai puncak kejayaannya. Dr. Fahruddin Faiz mencatat bahwa peradaban Islam, terutama pada Zaman Abbasiyah, mencapai kejayaannya berkat dukungan penguasa terhadap dunia ilmiah dan filsafat.

Rasa keingintahuan sejatinya adalah hal yang alami dan merupakan bagian dari diri setiap individu sejak bayi. Namun, kondisi sosial dan tekanan dari lingkungan bisa membuat keingintahuan tersebut meredup seiring bertambahnya usia.

Perubahan pola pengasuhan dari masa ke masa, di mana orang tua cenderung lebih protektif terhadap anak-anak mereka pada era modern. Pembatasan yang diberikan oleh orang tua, baik terhadap tindakan maupun pertanyaan anak-anak, dapat menghambat perkembangan keingintahuan alami mereka.

Percakapan kemudian melibatkan isu viralitas dan dampaknya terhadap pemikiran generasi muda. Dr. Fahruddin Faiz mencatat bahwa fokus pada pencapaian viralitas, seperti di media sosial, dapat menghambat perkembangan pemikiran kritis. Generasi muda sering kali lebih memprioritaskan likes dan shares daripada memikirkan nilai dan manfaat dari apa yang mereka bagikan.

Eksistensi seseorang seharusnya tidak semata-mata bergantung pada seberapa viral atau populer di media sosial. Fokus pada kearifan dan pemahaman mendalam harus diperjuangkan agar kehidupan tidak hanya berlangsung di permukaan saja.

Tantangan besar yang dihadapi dalam dunia digital, di mana kemudahan akses terhadap informasi sering kali tidak diimbangi dengan pemahaman kritis terhadap ilmu dan filsafat. Anak-anak muda dapat mengakses informasi kompleks tanpa pemahaman tataran ilmu yang memadai, dan hal ini dapat mengarah pada ketidakmengertian dan bahkan salah kaprah.

Diskusi mencapai puncaknya ketika Dr. Fahruddin Faiz membahas kebutuhan akan kesadaran akan tataran ilmu. Dia menyampaikan bahwa pendidikan seharusnya membekali generasi muda dengan pemahaman kritis dan kesadaran terhadap tataran-tataran ilmu yang lebih mendalam. Tanpa itu, risiko kecanduan viralitas dan kesulitan berpikir kritis akan semakin merajalela.

Penting bagi masyarakat untuk mendisiplinkan diri dalam berpikir secara sistematis, mendalam, dan metodis. Kurikulum pendidikan dan kesadaran kritis perlu diperkuat agar masyarakat tidak hanya hidup di permukaan, tetapi dapat meraih potensi maksimal di semua aspek kehidupan.

Pentingnya membangkitkan rasa penasaran dan keinginan untuk belajar sejak usia dini. Dia menyoroti tantangan di era modern di mana banyak anak-anak cenderung terisolasi dalam dunia digital, kehilangan keterampilan sosial, dan terjebak dalam keinginan untuk menjadi “viral.”

Perubahan dalam tatanan sosial, ekonomi, politik, dan ideologi. Dr. Fahruddin Faiz membahas individualisme dan tribalisme sebagai respons terhadap kekecewaan terhadap inklusi yang tidak merata. Dampak negatif dari viralitas dan individualisme, yang dapat mengarah pada depresi, kecemasan, dan kurangnya keterampilan sosial.

“Saya sudah melihat sosial media ini atau medsos sangat sudah dan akan terus bisa mengpolarisasi percakapan. Dan yang muda sudah terpengaruh, intelektual juga sudah terpengaruh, bahkan politik juga terpengaruh. Polarisasi ini sangat nyata. Dan kalau yang di kalangan anak muda, saya lihat itu mereka itu lebih berkomunikasi dengan mereka saja. Tapi mereka lupa atau kurang berkomunikasi dengan pendahulu kita, yang sering kali disebut sejarah.” – Gita Wirjawan- End Game Podcast

Pendidikan digital, terutama melalui platform seperti YouTube, dapat memberikan akses yang tidak terkendali terhadap informasi. Ia mengkhawatirkan kurangnya kesadaran tentang tataran ilmu dan penggunaan media sosial untuk pencitraan semata, terutama di bidang agama.

Kedangkalan dalam pemahaman agama, di mana orang sering kali menggunakan agama untuk kepentingan egois mereka. Ia mendorong kesadaran tentang perbedaan antara tafsir dan teks kitab suci, serta perlunya otoritas yang memahami konteks dan memiliki pengetahuan mendalam.

Dr. Fahruddin Faiz mendorong untuk membanjiri platform media sosial dengan konten positif yang bersaing dengan konten-konten viral yang mungkin kurang bijaksana. Mengganti aktivitas yang tidak produktif dengan kegiatan positif yang dapat memberikan keasyikan yang setara. Menyadari dan menghormati otoritas di bidangnya masing-masing, terutama dalam hal tafsir agama, untuk mengurangi konflik dan kesalahpahaman. Mendorong kesadaran diri dan pengetahuan batas diri dalam menyebarkan informasi, serta memahami tanggung jawab moral.

Twitternya cuma beberapa ratus ribu, artinya media sosial kurang cocok untuk membagikan informasi yang kompleks. Sehingga perlu ada inisiatif untuk memberikan informasi lebih mendalam, tidak hanya berdasarkan tren atau kepopuleran, tapi juga substansial. Apalagi dengan berkembangnya teknologi, masyarakat semakin mudah terpapar informasi, dan menjadi tanggung jawab bersama untuk memastikan informasi yang disebarkan berkualitas.

Selain itu, perlu juga kesadaran dan upaya bersama untuk merubah cara berpikir patronistik, feudal, dan idolatri di masyarakat. Pendidikan dan edukasi menjadi kunci utama dalam merubah mindset ini. Forum-forum seperti kajian di masjid yang mencakup berbagai disiplin ilmu, seperti filsafat, psikologi, dan lainnya, dapat menjadi langkah awal untuk memperluas wawasan dan memperkaya pemikiran.

Dalam konteks politik, penting untuk memahami bahwa demokrasi seharusnya berjalan berdasarkan meritokrasi dan kapasitas, bukan sekadar ikut arus atau tergantung pada patronase. Masyarakat perlu lebih kritis dalam menilai pemimpinnya, bukan hanya mengikuti popularitas atau kecenderungan tren.

Tentu saja, semua langkah ini memerlukan waktu dan kerja keras bersama. Namun, dengan adanya kesadaran akan pentingnya perubahan ini, serta upaya konkret dalam penyuluhan dan edukasi, kita dapat mengharapkan perubahan positif menuju masyarakat yang lebih cerdas, kritis, dan berdaya saing.

Selain itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan literasi dan pendidikan masyarakat, agar mereka lebih kritis dan tidak mudah terpengaruh oleh informasi yang tidak benar. Pendidikan ini bisa dilakukan tidak hanya di sekolah, tapi juga melalui forum-forum diskusi, termasuk di tempat ibadah.

Sebagai tambahan, penting juga untuk menggalakkan dialog antarumat beragama dan antarkelompok masyarakat. Ini bisa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan dialog lintas agama, budaya, dan pendidikan. Dengan begitu, kita bisa menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan menghormati perbedaan.

Mengenai keseimbangan antara Islam, masyarakat sipil, dan aparat keamanan, perlu ada transparansi dan akuntabilitas dari semua pihak. Masyarakat sipil harus aktif dalam pengawasan dan memberikan masukan, aparat keamanan harus menjalankan tugasnya dengan profesional dan tidak melibatkan diri dalam politik praktis, sementara Islam tetap menjadi sumber nilai dan etika yang mengedepankan keadilan dan kebersamaan.

Penting juga untuk tidak hanya melihat ke masa lalu, tapi juga membuka ruang untuk generasi muda yang memiliki pemikiran segar dan inovatif. Mereka perlu diberikan kesempatan untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan pengambilan keputusan.

Dalam konteks demokrasi, kita perlu memastikan bahwa demokrasi yang berlangsung adalah demokrasi substantif, bukan hanya formalitas. Artinya, masyarakat harus benar-benar memiliki peran dalam pengambilan keputusan, dan kebijakan yang dihasilkan harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat secara merata.

Akhirnya, penting bagi kita untuk senantiasa mendorong semangat pembelajaran sepanjang hayat. Dengan terus belajar dan mengembangkan kapasitas diri, kita dapat menghadapi tantangan zaman dengan lebih baik. Semoga kita semua dapat berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa dan peradaban.

“Menurut saya kunci hidup ini tetap pada kemauan dan kemampuan kita untuk berpikir. Jadi begitu kita menutup pintu berpikir, kita tidak mau lagi terbuka untuk berpikir, itu alamat kita akan macet dan berhenti. Jangan lupa bahwa anugerah paling besar yang diberikan oleh Tuhan, oleh Allah pada kita, itu akal budi. Jangan sampai anugerah terbaik ini, kita diamkan, kita cueki begitu saja. Saatnya kita manfaatkan itu sebaik mungkin.” – Dr. Fahrudin Faiz – Endgame Podcast.