Dalam episode ini, Gita Wirjawan berbincang dengan Angga Sasongko, pendiri Visinema, sebuah perusahaan yang telah mengukir namanya di industri kreatif Indonesia. Angga membagikan kisah perjalanan hidupnya, dari masa kecil yang penuh tantangan hingga membangun Visinema menjadi salah satu rumah produksi terkemuka di Indonesia.
Masa Kecil yang Penuh Warna
Angga Sasongko mengawali cerita dengan mengingat masa kecilnya yang penuh kenakalan. Sebagai anak yang sering berpindah sekolah, Angga mengaku tidak pernah betah di satu tempat. “Saya pindah sekolah berkali-kali di Jakarta dan Semarang. Salah satu alasan pindah ke Semarang adalah agar saya bisa tetap naik kelas,” ujar Angga.
Namun, di tengah kenakalannya, ada satu momen yang menjadi titik balik dalam hidupnya. Saat SMP, ia bertemu dengan seorang guru yang menginspirasi dan membawanya ke dunia sastra. “Guru Bahasa Indonesia saya mengajarkan kami tentang sastra, menulis puisi, dan membaca buku. Dari situlah saya mulai terbuka dengan storytelling,” kenang Angga.
Di masa SMA, Angga mulai menunjukkan minat besar pada kegiatan organisasi dan kreativitas. Bersama teman-temannya, ia menginisiasi pentas seni (pensi) di sekolahnya yang kemudian menjadi acara tahunan terbesar di Jakarta. Kegemaran Angga pada film dimulai saat ia menyaksikan kakaknya dan teman-temannya membuat film pendek dengan handycam. Ketertarikan ini kemudian mendorongnya untuk membuat film pendek pertama di SMA, yang kemudian diputar di sekolah dengan tiket masuk seharga Rp2.500.
Awal Mula Visinema
Setelah lulus SMA, Angga memulai karier di industri film sebagai kru, menjalani berbagai peran seperti asisten sutradara dan manajer lokasi. Di usia 19 tahun, Angga mendapatkan kesempatan untuk membuat iklan, yang menjadi debutnya sebagai sutradara profesional. “Saya selalu bilang saya mulai karier profesional sebagai sutradara di usia 19 tahun,” ujarnya.
Visinema resmi didirikan pada tahun 2008, namun perjalanan awalnya tidak mudah. Film pertama yang diproduksi Visinema, “Hari untuk Amanda,” terhambat rilisnya karena krisis finansial global pada tahun 2008. Film tersebut baru bisa dirilis pada tahun 2010, yang membuat Angga sempat berpikir untuk menyerah di dunia film.
Titik balik dalam perjalanan Visinema terjadi pada tahun 2010 ketika Angga bertemu dengan Glenn Fredly. Glenn tertarik dengan cerita yang disampaikan Angga tentang pengalamannya di Tulehu, Maluku, saat membuat dokumenter untuk FIFA dan Nike. Dari pertemuan ini, lahirlah ide untuk membuat film “Cahaya dari Timur,” yang akhirnya diproduksi dan menjadi salah satu film yang membawa Visinema ke puncak kesuksesan.
Kreativitas dan Bisnis
Angga Sasongko telah berhasil mengkombinasikan kemampuan artistiknya dengan kewirausahaan sejak usia muda. Dimulai dengan pengalaman sederhana saat menjaga warnet milik neneknya, Angga belajar mengenai pelayanan pelanggan dan upselling sejak masih duduk di bangku sekolah dasar. Pengalaman ini membentuk dasar pemahaman bisnisnya yang kuat, yang kemudian terus berkembang seiring dengan perjalanan karirnya hingga kini.
Salah satu manifestasi dari idealisme dan kreativitas Angga adalah film “Cahaya dari Timur”. Melalui Visinema, Angga terus mengembangkan model bisnis yang tidak hanya berfokus pada kreativitas, tetapi juga keberlanjutan nilai dari setiap karya yang dihasilkan. Ia terinspirasi oleh konsep-konsep besar dari perusahaan seperti Disney, namun fondasi kuat yang ia bangun sejak remaja memainkan peran utama dalam kesuksesannya saat ini.
“Keberhasilan tidak hanya diukur dari pencapaian materi, tetapi juga dari seberapa besar kontribusi kita dalam membangun masyarakat yang lebih baik.” Gita Wirjawan – EndGame
Vertikalisasi di Visinema
Ketika Angga melihat potensi besar dalam “Filosofi Kopi”, ia yakin bahwa Visinema bisa meningkatkan kapasitas produksinya. Namun, tantangan terbesar adalah bagaimana agar Visinema tidak hanya bergantung pada sosok Angga Sasongko. Angga menyadari bahwa jika ingin memperbesar perusahaan, ia harus mendesentralisasi kepemimpinan dan tanggung jawab. Keberhasilan film “Love for Sale” menjadi momentum penting bagi Visinema. Pada proyek tersebut, Angga sengaja mengurangi keterlibatannya, memberi kepercayaan penuh kepada tim yang berani dan penuh semangat. Hasilnya, film tersebut menjadi fenomena dan semakin memperkuat keyakinan bahwa desentralisasi adalah jalan yang tepat.
Selain itu, Visinema juga memutuskan untuk tidak hanya berfokus pada live-action, tetapi juga merambah ke animasi. Angga melihat bahwa Intellectual Property (IP) dalam bentuk animasi memiliki daya tahan yang lebih lama dibandingkan live-action, seperti yang terlihat dari kesuksesan karakter-karakter animasi di Disney. Dengan keyakinan ini, Visinema Animation lahir, dengan proyek pertama mereka adalah film “Nussa” yang sukses menarik perhatian publik.
Komitmen Terhadap Talenta dan Publik
Visinema memiliki prinsip dasar untuk selalu memprioritaskan kepentingan umum. Angga menyadari bahwa produk mereka dibeli oleh publik, sehingga mereka tidak boleh meremehkan kepercayaan tersebut. Dengan kebanggaan akan narasi dan cerita yang dihasilkan, Visinema selalu berusaha untuk menghasilkan karya yang berkualitas dan berarti bagi penonton.
Mencari dan mengembangkan talenta adalah tantangan tersendiri bagi Visinema. Angga percaya bahwa storytelling adalah elemen kunci yang harus dimiliki oleh setiap talenta di industri kreatif. Oleh karena itu, di Visinema, mereka menciptakan lingkungan di mana setiap orang diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi dan mengembangkan potensinya. Dengan sistem pitch forum yang terbuka, siapa pun di Visinema bisa mengajukan ide mereka dan jika disetujui, mereka sendiri yang akan memimpin proyek tersebut.
Visinema juga menerapkan konsep “4C” dalam pengembangan talenta: Courage (keberanian), Commitment (komitmen), Curiosity (rasa ingin tahu), dan Consistency (konsistensi). Dengan memberikan keberanian dan komitmen, perusahaan mendorong talenta untuk berkembang dan berinovasi. Di sisi lain, talenta juga dituntut untuk memiliki rasa ingin tahu dan konsistensi dalam bekerja.
Angga menegaskan bahwa bekerja di Visinema bukanlah tentang bekerja untuk dirinya, tetapi untuk perusahaan sebagai platform bersama. Visinema adalah tempat di mana setiap individu bisa berkembang, mewujudkan diri, dan pada akhirnya, bangga menjadi bagian dari sebuah perusahaan yang mengutamakan kreativitas dan nilai-nilai positif.
Visinema telah berhasil membuktikan bahwa dengan strategi yang tepat, mereka bisa scaling up tanpa mengorbankan kualitas atau idealisme. Melalui desentralisasi, pengembangan talenta, dan diversifikasi produk, Visinema tidak hanya menjadi rumah bagi Angga Sasongko, tetapi juga sebuah platform yang memberi dampak positif bagi industri kreatif di Indonesia.
Strategi Vertikal Baru: Membangun Ekosistem yang Berkelanjutan
Angga menyatakan bahwa untuk meningkatkan kapasitas produksi film, Visinema mengikuti strategi yang mirip dengan Disney. Alih-alih memperluas kapasitas internal secara besar-besaran, Visinema mulai berinvestasi pada studio independen yang konsisten dan mencolok. Angga menegaskan bahwa pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kapasitas produksi tetapi juga memperkaya budaya perusahaan dengan beragam perspektif.
Disney, di bawah kepemimpinan Bob Iger, mengakuisisi Pixar, Lucasfilm, dan Marvel untuk menambah konten baru tanpa harus membangun dari nol. Dengan meniru strategi ini, Visinema berharap dapat menciptakan ekosistem yang kuat dan berkelanjutan, dengan memayungi berbagai budaya kreatif dalam satu entitas.
“Film bukan hanya medium hiburan, tetapi juga alat untuk menciptakan perubahan sosial dan membangun narasi bangsa.” Angga Sasongko – EndGame
Adaptasi di Masa Pandemi: Menghadapi Batasan Offline
Pandemi COVID-19 membawa tantangan besar bagi industri film, terutama dengan terbatasnya penayangan offline. Angga menjelaskan bahwa Visinema telah beradaptasi dengan memperluas model bisnisnya, termasuk mengembangkan platform digital dan inisiatif baru seperti Do Mikado dari divisi Kids & Family.
Visinema berusaha untuk tidak hanya bergantung pada penjualan tiket bioskop, tetapi juga mengembangkan berbagai sumber pendapatan lain. Ini termasuk model bisnis seperti bioskop online di kampus, yang memungkinkan perusahaan untuk tetap bertahan di tengah keterbatasan offline. Dengan diversifikasi ini, Visinema telah memperkuat posisinya sebagai pemain tangguh di industri kreatif Indonesia.
Mengembangkan Divisi Animasi: Membuka Jalan Baru
Salah satu fokus utama Visinema adalah pengembangan divisi animasi. Angga menjelaskan bahwa animasi di Indonesia masih dalam tahap awal, namun potensi talenta yang ada sangat besar. Untuk mengembangkan kapasitas produksi animasi, Visinema mengakuisisi Afterlab, sebuah studio animasi dengan budaya yang berbeda dari Visinema Animation.
Visinema Animation, dipimpin oleh Ryan Adriandhy, fokus pada produksi konten animasi dengan gaya Amerika dan storytelling yang universal. Sementara itu, Afterlab mengembangkan konten dengan genre action, sci-fi, dan robot yang menyasar pasar A+. Dengan menggabungkan kekuatan kedua studio ini, Visinema berharap dapat merilis satu film animasi panjang setiap tahun, membuka jalan bagi perkembangan industri animasi di Indonesia.
Nussa: Mengangkat Cerita Universal dengan Pesan Mendalam
Salah satu proyek animasi yang paling dinantikan dari Visinema adalah film “Nussa.” Angga menceritakan bahwa Nussa adalah sebuah IP yang menarik dan memiliki pesan yang sangat universal. Film ini mengisahkan tentang seorang anak disabilitas yang harus belajar menerima kekurangan dan bersaing dengan teman sekelasnya yang memiliki teknologi lebih canggih. Cerita ini menekankan pentingnya nilai keluarga dan pengorbanan, serta bagaimana kebahagiaan tidak selalu tergantung pada teknologi atau kekayaan.
Angga mengakui bahwa “Nussa” adalah karya yang sangat dibanggakannya dan siap mempertanggungjawabkan kualitas dan pesan dari film tersebut. Meski sempat mendapatkan tuduhan negatif sebelum dirilis, Angga menegaskan bahwa “Nussa” adalah hasil kerja keras murni dari The Little Giantz dan Visinema tanpa intervensi dari pihak luar.