Korea Selatan telah mencatat kemajuan yang signifikan dalam berbagai bidang, namun seperti banyak negara lainnya, mereka menghadapi tantangan besar dalam mengelola brain drain atau pengalihan talenta ke luar negeri. Dalam episode #133 dari podcast Endgame, Profesor Gi-Wook Shin, Direktur APARC di Universitas Stanford, mengungkapkan pandangannya mengenai bagaimana Korea Selatan menangani isu ini dan tantangan terkait.
Perjalanan Hidup dan Pendidikan Gi-Wook Shin
Profesor Gi-Wook Shin lahir dan dibesarkan di Korea Selatan. Setelah menyelesaikan kuliah pada tahun 1983 dan terlibat dalam gerakan politik pro-demokrasi, beliau melanjutkan studi ke Universitas Washington di AS. Meskipun awalnya berencana untuk kembali ke Korea setelah mendapatkan gelar PhD, kesempatan kerja di Universitas Iowa dan kemudian di UCLA membuatnya menetap di AS. Akhirnya, pada tahun 2001, beliau menerima tawaran dari Stanford untuk mendirikan Program Korea.
Keberhasilan Korea Selatan dan Faktor Kunci
Korea Selatan telah mengalami transformasi besar dalam empat dekade terakhir. Dari negara yang dulunya miskin dan tertinggal, Korea Selatan kini dikenal sebagai kekuatan ekonomi dan budaya global, terutama melalui produk-produk teknologi tinggi dan fenomena K-pop.
Beberapa faktor kunci dalam keberhasilan ini meliputi:
- Kepemimpinan Politik: Kepemimpinan seperti Presiden Park Chung-hee memainkan peran penting dalam memajukan ekonomi Korea Selatan meskipun melalui cara yang kontroversial.
- Investasi dalam Sumber Daya Manusia: Korea Selatan mengalokasikan sumber daya yang signifikan untuk pendidikan dan pelatihan, yang mendorong pengembangan tenaga kerja berkualitas tinggi.
- Keterlibatan Global: Korea Selatan aktif dalam menjalin hubungan internasional dan berinvestasi di luar negeri, yang membantu mempercepat pertumbuhannya.
Tantangan dan Krisis Demografi
Korea Selatan saat ini menghadapi tantangan besar berupa krisis demografi, yaitu populasi yang menua dan tingkat kelahiran yang sangat rendah. Dengan tingkat kelahiran di bawah 0,8, Korea Selatan menghadapi risiko mengikuti jejak Jepang dalam perlambatan pertumbuhan ekonomi dan inovasi.
Untuk mengatasi masalah ini, Korea Selatan harus:
- Tetap Terhubung dengan Dunia Luar: Berbeda dengan Jepang yang lebih tertutup, Korea harus terus menerima ide dan talenta dari luar negeri.
- Menerima Migrasi Tenaga Kerja Terampil: Dengan populasi yang menua, Korea perlu membuka pintu untuk tenaga kerja asing, terutama dalam sektor-sektor yang kurang diminati oleh penduduk lokal.
Mengatasi Brain Drain
Brain drain, atau penurunan tenaga kerja terampil ke luar negeri, adalah isu global yang mempengaruhi banyak negara termasuk Korea Selatan. Untuk mengurangi dampak brain drain, Korea Selatan harus:
- Mengembangkan Kebijakan Migrasi yang Inklusif: Membuka peluang bagi talenta global dan menciptakan lingkungan yang ramah bagi imigran.
- Meningkatkan Keterampilan Lintas Budaya: Selain menguasai bahasa Inggris, penting bagi tenaga kerja Korea untuk memahami dan beradaptasi dengan budaya global.
“Bagaimana Asia Tenggara bisa mempelajari dari Korea Selatan untuk menjadi sama hebatnya, dan bagaimana mereka berhasil mengubah ekonomi menjadi modal budaya.” Gita Wirjawan – EndGame
Apa Itu Brain Drain dan Bagaimana Korea Selatan Menghadapinya?
Brain drain, atau pengalihan bakat, merujuk pada fenomena ketika talenta-talenta berbakat meninggalkan negara asal mereka untuk bekerja atau menetap di negara lain. Gi-Wook Shin telah mendalami topik ini selama bertahun-tahun dan menulis buku mengenai global talent dengan Korea sebagai studi kasus utama.
Shin menjelaskan bahwa banyak negara mengalami brain drain, namun hal ini tidak harus selalu menjadi kerugian permanen. Misalnya, Tiongkok dan India awalnya mengalami brain drain yang signifikan ketika banyak talenta mereka meninggalkan negara untuk berkarir di luar negeri. Namun, kedua negara ini berhasil mengubah fenomena ini menjadi aset pembangunan melalui kebijakan strategis.
“Polarisasi politik yang ekstrem telah menyebabkan masyarakat terpecah belah, dengan ideologi yang sangat berbeda seringkali tidak saling berkomunikasi.” Gi-Wook Shin – EndGame
Strategi Tiongkok dan India
Tiongkok menerapkan strategi ‘brain circulation’, di mana mereka mengirim talenta ke luar negeri dengan harapan dapat membawa mereka kembali setelah memperoleh pengalaman dan pengetahuan. Ini adalah pendekatan yang juga diterapkan oleh Taiwan dan Malaysia.
Sebaliknya, India menghadapi tantangan yang berbeda. Banyak profesional India, terutama yang bekerja di Silicon Valley, tidak berniat untuk kembali ke India. Meski demikian, mereka tetap berkontribusi pada negara asal mereka dengan mengirimkan uang, pengetahuan, dan talenta untuk membantu perkembangan universitas dan perusahaan di India. Misalnya, pemegang visa H-1B di Amerika Serikat, yang sebagian besar adalah orang India, memberikan dampak signifikan terhadap sektor teknologi di India.
Pengalaman Pribadi dan Brain Linkage
Shin sendiri merupakan contoh bagaimana brain drain dapat bertransformasi menjadi ‘brain linkage.’ Meskipun ia meninggalkan Korea Selatan untuk menempuh pendidikan dan karir di luar negeri, ia tetap terlibat dengan Korea melalui pengajaran, kebijakan, dan bisnis. Ia berargumen bahwa dengan globalisasi, negara-negara berkembang sebaiknya tidak takut dengan brain drain. Sebaliknya, mereka harus mencari cara untuk mengubahnya menjadi brain circulation atau brain linkage.
Investasi dalam Pendidikan Tinggi
Shin juga menyoroti pentingnya investasi dalam pendidikan tinggi. Meskipun ada kritik bahwa mendidik individu hanya untuk mereka pergi ke luar negeri bisa menjadi pemborosan sumber daya, Shin berpendapat bahwa investasi ini penting untuk kemajuan negara. Belajar dari negara-negara seperti Korea dan Taiwan yang berhasil mengelola brain drain bisa menjadi kunci untuk mencapai kesuksesan serupa di negara berkembang lainnya.
Dalam proyek terbarunya, Next Asia Policy Lab di Stanford, Shin akan fokus pada bagaimana Asia dapat naik ke tingkat berikutnya dalam hal ekonomi, sosial, budaya, dan pendidikan. Proyek ini akan melibatkan penelitian mendalam dan praktis dengan tujuan memberikan implikasi kebijakan yang bermanfaat.
Krisis Demokrasi dan Polarisasi Politik
Profesor Shin memulai dengan membahas krisis demokrasi yang melanda banyak negara, termasuk Korea Selatan. Ia mencatat bahwa polarisasi politik yang ekstrem telah menyebabkan masyarakat terpecah belah, dengan ideologi yang sangat berbeda seringkali tidak saling berkomunikasi. Polarisasi ini tidak hanya terjadi di Korea, tetapi juga di negara-negara lain seperti AS dan Inggris.
Shin menekankan pentingnya membangun konsensus nasional untuk menghadapi tantangan. Sejarah menunjukkan bahwa Korea pernah terpecah belah pada akhir abad ke-19, dan hal tersebut berkontribusi pada penaklukan Jepang. Ia mengingatkan bahwa saat ini, Korea menghadapi tantangan serupa, dengan masyarakat yang terpecah dan susah untuk mencapai kesepakatan.
Media Sosial dan Toleransi
Salah satu faktor yang memperburuk situasi adalah media sosial. Shin, yang secara pribadi tidak menggunakan media sosial, mengakui bahwa platform ini sering kali memperburuk polarisasi dan penyebaran informasi yang salah. Ia berpendapat bahwa daripada mengatur media sosial melalui hukum, lebih penting untuk mempromosikan budaya toleransi dan keberagaman. Edukasi mengenai nilai-nilai ini menjadi kunci untuk mengatasi masalah yang disebabkan oleh informasi yang salah dan kebencian di media sosial.
Perspektif Global tentang China dan India
Shin juga membahas masa depan China dan India dalam konteks global. Ia menyebutkan bahwa China, setelah beberapa dekade keterbukaan dan pengiriman talenta ke luar negeri, kini menghadapi tantangan baru dengan semakin tertutupnya kebijakan mereka. Meskipun China telah mencapai kesuksesan besar, kepemimpinan politik dan suksesi kekuasaan menjadi isu yang penting. Di sisi lain, India menunjukkan kemajuan dalam brain circulation, namun juga menghadapi tantangan seperti nasionalisme Hindu dan rasisme domestik. Shin mencatat bahwa meskipun India adalah negara demokratis terbesar di dunia, ada kekhawatiran mengenai arah kemajuan demokrasi mereka.
Pelajaran untuk Asia Tenggara
Dalam sesi terakhir, Shin mengungkapkan pandangannya tentang pelajaran yang bisa diambil Asia Tenggara dari Korea Selatan. Ia menyoroti keberhasilan Korea dalam memproyeksikan soft power melalui K-drama dan K-pop. Keberhasilan ini tidak hanya berakar pada kekuatan ekonomi tetapi juga pada kekuatan budaya yang kuat.
Shin mengakui bahwa keberhasilan Korea dalam memanfaatkan platform global seperti Netflix dan YouTube telah membantu menyebarkan budaya mereka secara luas. Ia menekankan pentingnya kompetisi dan investasi pada sumber daya manusia sebagai kunci untuk bertahan dan berkembang, terutama bagi negara-negara dengan sumber daya yang terbatas.
Profesor Gi-Wook Shin memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana Korea Selatan menghadapi tantangan brain drain dan polarisasi politik, serta bagaimana negara tersebut dapat menginspirasi Asia Tenggara dengan keberhasilan budaya mereka. Dengan mempromosikan toleransi, meningkatkan keterbukaan, dan berinvestasi dalam sumber daya manusia, Korea Selatan menunjukkan bahwa meskipun menghadapi tantangan besar, strategi yang tepat dapat membantu negara tetap relevan dan kompetitif di panggung global.