Masa Kecil dan Pengaruh Keluarga
Connie Rahakundini Bakrie, seorang analis pertahanan terkemuka, lahir pada 3 November 1964. Sejak kecil, Connie memiliki pengalaman yang unik dan berpengaruh besar dalam pandangannya terhadap teknologi dan ilmu pengetahuan. Ketika dunia khawatir akan tenaga nuklir, Connie justru tumbuh dengan pandangan positif terhadapnya. Hal ini tidak lepas dari pengaruh ayahnya, seorang peneliti yang sering mengajaknya ke lapangan terbang Nurtanio dan reaktor atom Bandung, tempat di mana Connie kecil sering bermain dan belajar.
Pendidikan dan Karir Awal
Latar belakang pendidikan Connie cukup menarik. Ia mengawali studinya di bidang desain grafis di Australia setelah tidak berhasil masuk ITB. Pengalaman ini membentuk fondasi berpikir kritis dan kreatif dalam dirinya. Setelah kembali ke Indonesia, ia bertemu dengan Setya Novanto dan bekerja dengan Pak Wismoyo pada masa krisis 1998.
Transisi ke Bidang Pertahanan
Krisis politik tahun 1998 menjadi titik balik dalam karir Connie. Ia memutuskan untuk mendalami ilmu politik dengan fokus khusus pada pertahanan. Ia merasa bahwa untuk memahami dan berkontribusi lebih dalam, ia perlu mengejar pendidikan di bidang ini. Dengan semangat dan tekad kuat, Connie berhasil menyelesaikan tesisnya yang kemudian dibukukan dengan judul “Defending Indonesia”. Buku ini menjadi kontra-narasi penting terhadap pandangan negatif dunia internasional terhadap militer Indonesia.
Pengalaman Internasional dan Pendirian
Connie juga memiliki pengalaman internasional yang luas. Ia diberi kesempatan untuk memberikan briefing di National Defense University, Amerika Serikat, dan mewakili Indonesia di berbagai forum internasional seperti ASEAN dan ASEM-EU. Connie dikenal karena pandangannya yang kritis dan berani menantang teori-teori mapan. Salah satu contoh adalah ketika ia menentang teori Klein tentang kekuatan negara.
Normalisasi Hubungan dengan Israel
Dalam pandangan Connie, normalisasi hubungan dengan Israel adalah langkah yang bijaksana. Ia mengapresiasi inisiatif Abraham Accords yang diprakarsai oleh menantu Donald Trump. Meski pernah menghadapi kontroversi dan hampir dikeluarkan dari UI karena upaya mengundang dosen dari Israel, Connie tetap yakin bahwa pemahaman yang lebih baik tentang Israel dan keterlibatan dalam dialog adalah langkah maju bagi Indonesia.
Pandangan Geopolitik: Rusia-Ukraina
Connie memiliki pandangan yang unik tentang konflik Rusia-Ukraina. Ia menyoroti bahwa NATO terus memperluas kekuatannya ke wilayah Rusia, memicu ketegangan yang seharusnya tidak perlu. “Dari awal, saya melihat ini gara-gara negara-negara NATO yang terus memperlebar kekuatannya,” ungkapnya.
Menurut Connie, propaganda yang menyatakan bahwa Vladimir Putin ingin menjadi Tsar baru hanyalah upaya untuk mengkambinghitamkan Rusia. Ia bahkan awalnya tidak terlalu peduli dengan konflik ini sampai melihat dampak sanksi internasional terhadap Rusia. “Sanksi mereka sekitar 4.000, bisa Anda bayangkan? Dan Rusia tetap bertahan hidup,” kata Connie. Hal ini membuatnya tertarik untuk belajar dari Rusia tentang semangat kemandirian.
Mengkritisi Zelenskyy
Connie juga memberikan pandangan kritis terhadap Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy, yang menurutnya bisa dianggap sebagai penjahat perang karena kebijakannya yang mengorbankan rakyatnya sendiri. Ia menekankan pentingnya batasan dalam cita-cita kepemimpinan agar tidak membahayakan nyawa warga negara.
Objektivitas dan Political Correctness
Mengenai keberaniannya menyuarakan pendapat di era political correctness, Connie percaya bahwa selama ia menyampaikan pemikirannya dengan benar dan berdasarkan data, kebenaran akan terlihat. “Kalau saya menyampaikan pemikiran saya dengan benar dan saya yakin dengan data, orang akan harus berbalik melihat,” katanya.
Isu Taiwan dan Laut Cina Selatan
Connie juga membahas isu Taiwan dan Laut Cina Selatan. Ia memiliki pengalaman belajar di kedua wilayah tersebut, memberinya perspektif unik tentang konflik yang melibatkan klaim teritorial dan politik. Menurutnya, arsip dokumen yang membuktikan kepemilikan wilayah tersebut ada di Taiwan, yang menambah kompleksitas isu ini. Ia memperingatkan bahwa intervensi Amerika terhadap Taiwan bisa sangat berbahaya.
Kritik terhadap Sanksi untuk Rusia
Connie mempertanyakan sanksi besar-besaran yang dikenakan pada Rusia saat ini. Menurutnya, meskipun Rusia melakukan tindakan yang kontroversial, respons internasional terhadap mereka adalah perang ekonomi yang besar. Ia menyoroti bahwa seluruh dunia harus menanggung konsekuensi dari kebijakan luar negeri AS yang dianggap egois.
Tan Malaka dan Kesetaraan Global
Connie mengutip Tan Malaka yang berpendapat bahwa dunia harus dibagi secara merata. “Ketika kita memelihara anjing kecil-kecil tapi banyak, itu akan lebih seimbang dibanding memelihara satu kecil, satu besar,” jelasnya. Connie melihat dunia saat ini dikuasai oleh sedikit negara yang kuat, sedangkan mayoritas lainnya menderita.
Demokrasi dan Paradoksnya
Connie dan pembawa acara, Gita Wirjawan, setuju bahwa demokrasi di banyak negara maju mulai menunjukkan paradoks. Demokrasi seharusnya mendistribusikan kekuatan, pendidikan, modal, dan integritas kepada banyak orang. Namun, di banyak tempat, hanya kekuatan yang didistribusikan, sementara atribut lainnya tidak. Gita menyebut contoh Singapura yang sukses mendistribusikan pendidikan dan nilai-nilai sosial dengan baik, meskipun dianggap sebagai “diktator yang baik hati” beberapa tahun yang lalu.
Kerajaan Tersembunyi dalam Demokrasi
Connie mengkritik sistem politik Indonesia saat ini, yang menurutnya masih mengandung elemen-elemen kerajaan tersembunyi. “Memang kelihatannya kita demokrasi berjalan, tapi sebenarnya di balik layar adalah kerajaan juga,” kata Connie.
Konflik Ukraina dan Proxy War
Kembali ke topik Ukraina, Connie menyatakan bahwa sulit untuk melihat konflik ini murni dari sudut pandang ideologi. Ia merasa marah kepada pemimpin-pemimpin yang menggunakan negara lain sebagai proxy dalam perang mereka. Menurutnya, narasi Barat yang menggambarkan Vladimir Putin sebagai penakluk tidak didukung oleh bukti sejarah.
Buffer State dan NATO
Gita menambahkan bahwa sejak runtuhnya Tembok Berlin, Rusia telah memperingatkan Barat untuk tidak memperluas NATO ke timur. “Ukraina adalah buffer state Rusia, tidak mungkin mereka tidak melakukan sesuatu,” jelasnya. Gita juga menyebut peringatan dari pemikir seperti Jeffrey Sachs dan mantan Dubes Robert Gates yang menilai ekspansi NATO sebagai tindakan bunuh diri.
Kehati-hatian Indonesia
Connie menekankan bahwa Indonesia harus berhati-hati dalam menyatakan dukungannya terhadap Ukraina karena bisa memiliki dampak negatif bagi Indonesia sendiri. Ia juga mengingatkan agar tidak selalu melihat Tiongkok sebagai ancaman.
Mengapa ASEAN Tidak Dilibatkan?
Dalam diskusi yang mendalam dengan Gita Wirjawan di Endgame #117, Connie Rahakundini Bakrie mengungkapkan pandangannya tentang peran Indonesia dalam konteks geopolitik global. Salah satu pertanyaan yang muncul adalah mengapa ASEAN tidak dilibatkan dalam pakta pertahanan. Menurut Connie, hal ini karena sejak awal ASEAN memiliki prinsip untuk tidak membentuk pakta pertahanan. Namun, yang lebih mengkhawatirkan adalah ketidaklibatan Indonesia, bahkan sebagai partner dialog.
Pengalaman di Delhi Dialog III
Connie menceritakan pengalamannya di Delhi Dialog III, di mana QUAD pertama kali dibahas. QUAD, yang terdiri dari Jepang, India, Australia, dan Amerika Serikat, dirancang untuk menghadapi ancaman regional. Connie merasa kecewa ketika Angkatan Laut Indonesia tidak dilibatkan, hanya karena dianggap kurang kuat. “Malaka kan punya kita, kenapa tidak melibatkan Angkatan Laut Indonesia?” tanya Connie dengan nada kecewa.
Pentingnya Memperkuat Militer Indonesia
Connie menekankan pentingnya memperkuat militer Indonesia, bukan hanya untuk pertahanan dalam negeri tetapi juga untuk menghadapi ancaman eksternal. Ia berpendapat bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) harus kembali ke konsep Angkatan Perang Republik Indonesia seperti era Bung Karno, dengan kebanggaan dan proyeksi kekuatan yang jelas. “Kita harus mampu menghadapi ancaman di Laut Cina Selatan dan wilayah lainnya,” tegasnya.
Tantangan dan Strategi Pertahanan
Connie juga menyoroti peran militer asing yang hadir di Indonesia dengan alasan melindungi lingkungan atau melawan bajak laut. Menurutnya, Indonesia harus memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah ini sendiri agar kedaulatan nasional tetap terjaga. “Kalau kita tidak mampu, mereka akan hadir dan menuntut wilayah kita,” ujarnya.
“Kalau kita tidak hati-hati, kita membina mendidik orang untuk akhirnya saling membunuh saudaranya sendiri, bukan membunuh musuh dari luar sana. Dan itu PR kita.” Connie Bakri – Endgame
Hutang dan Dukungan Militer
Dalam konteks dukungan militer, Connie menyoroti beban hutang yang harus ditanggung oleh negara-negara yang menerima bantuan. Ia menyebutkan bahwa hutang Inggris kepada Amerika Serikat baru lunas pada tahun 2020, meskipun hutang tersebut berasal dari Perang Dunia II. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan militer tidak pernah gratis dan dapat membebani negara selama puluhan tahun.
Militerisasi Indonesia: Kebutuhan atau Kepentingan?
Connie dan Gita membahas pentingnya mencari keseimbangan antara kebutuhan militerisasi dan kemampuan fiskal negara. Connie menegaskan bahwa integritas adalah kunci. “Tanpa integritas, kita akan membeli senjata tanpa tujuan yang jelas,” kata Connie. Ia juga menekankan bahwa proyeksi kekuatan, aset, dan kesiapan adalah tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam memperkuat pertahanan Indonesia.
Visi Masa Depan Pertahanan Indonesia
Connie mengusulkan agar Indonesia meningkatkan investasi dalam industri pertahanan domestik. Dengan memproduksi sendiri alat utama sistem senjata (Alutsista) dan teknologi militer seperti drone, Indonesia tidak hanya akan mengurangi ketergantungan pada impor, tetapi juga dapat berpartisipasi dalam pasar pertahanan global. Hal ini, menurutnya, memerlukan integritas dan visi jangka panjang untuk menjadikan anggaran pertahanan sebagai sumber kekuatan dan profit bagi negara.