Dalam beberapa tahun terakhir, cryptocurrency (kripto) semakin populer di kalangan anak muda Indonesia. Dengan segala hype yang ada, penting bagi kita untuk memahami isu fundamental di balik kripto. Di episode #59 podcast Endgame, Jeth Soetoyo, CEO dari Pintu, berbagi pandangannya tentang dunia kripto, tantangan, dan peluang di masa depan.
Perjalanan Jeth Soetoyo Menemukan Dunia Kripto
Jeth Soetoyo, yang lahir di Singapura dan besar di Jakarta, memiliki latar belakang akademik di bidang Teknik Sipil dari Bucknell University, Amerika Serikat. Setelah lulus, ia sempat bekerja di beberapa perusahaan konsultasi manajemen sebelum melanjutkan studi MBA di Harvard University. Di sana, ia pertama kali terjun ke dunia blockchain pada tahun 2017. Saat itu, ia menggunakan kripto untuk memindahkan uang dari Indonesia ke Amerika lebih efisien, dibandingkan dengan metode perbankan tradisional yang lambat dan mahal.
Jeth menyebutkan bahwa minatnya terhadap kripto muncul setelah membaca artikel di Wired Magazine tentang potensi teknologi blockchain untuk membuat transaksi lebih efisien, baik dari segi waktu maupun biaya. Ini memotivasinya untuk bereksperimen dengan kripto, tepat saat boom cycle tahun 2017 terjadi.
Skeptisisme dan Keyakinan di Dunia Kripto
Meskipun awalnya optimis, Jeth mengakui bahwa ia juga pernah merasa skeptis terhadap masa depan blockchain, terutama selama “crypto winter” antara 2018-2020. Namun, semakin ia mendalami teknologinya, semakin yakin bahwa ini bukan hanya tren jangka pendek. Keunggulan utama blockchain menurutnya adalah sifatnya yang terbuka, memungkinkan inovasi terus berkembang.
Mengapa Kripto Semakin Menarik?
Jeth Soetoyo mengidentifikasi beberapa faktor yang membuat kripto semakin menarik:
- Kebutuhan akan Aset Alternatif: Setelah standar emas dihapuskan pada tahun 1971, negara-negara maju mulai mencetak uang secara besar-besaran, sehingga nilai uang terus menurun. Kripto menawarkan alternatif dengan jumlah yang terbatas (finite), yang membuatnya lebih menarik bagi mereka yang khawatir tentang inflasi.
- Diversifikasi Portofolio: Banyak pengelola dana yang mencari aset baru untuk diversifikasi dan lindung nilai (hedging). Kripto, yang tidak berkorelasi dengan aset lain, menjadi pilihan menarik dengan profil risiko/keuntungan yang unik.
Tantangan dan Pentingnya Edukasi
Namun, Jeth juga mengingatkan bahwa dunia kripto bukan tanpa risiko. Banyak orang awam yang masih skeptis karena melihat kripto sebagai sarang penipuan atau aktivitas ilegal. Oleh karena itu, Pintu berfokus pada edukasi masyarakat tentang apa itu blockchain, bagaimana sistem ekonomi kripto bekerja, dan mengapa token atau koin bisa memiliki nilai.
Jeth juga menekankan pentingnya melakukan riset fundamental sebelum berinvestasi di kripto. Ia menyarankan agar tidak terjebak dalam FOMO (fear of missing out) dan lebih mengadopsi strategi investasi seperti dollar cost averaging (DCA), yaitu membeli secara konsisten dalam jumlah kecil untuk mendapatkan rata-rata harga terbaik. Jeth optimis tentang masa depan kripto di Indonesia, meski mengakui ada tantangan besar, terutama dalam hal regulasi. Regulasi yang lebih terbuka dan bijaksana dibutuhkan untuk memfasilitasi pertumbuhan sektor ini, sembari melindungi konsumen dari risiko yang ada. Ia percaya bahwa dengan edukasi yang tepat dan sosialisasi, potensi kripto sebagai aset alternatif yang inklusif bisa dimanfaatkan untuk kepentingan lebih luas.
Bitcoin vs. Ethereum: Dua Raksasa Berbeda
Dalam dunia cryptocurrency, Bitcoin dan Ethereum menempati posisi teratas sebagai aset digital paling populer. Jeth menjelaskan bahwa meskipun keduanya sering dikategorikan sebagai kelas aset yang sama, sebenarnya ada perbedaan fundamental. Bitcoin lebih mirip dengan “emas digital” karena jumlahnya yang terbatas, yaitu 21 juta unit. Fungsinya lebih sebagai penyimpanan nilai (store of value).
Di sisi lain, Ethereum dapat diibaratkan sebagai “minyak digital.” Ethereum adalah platform yang memungkinkan pengembangan aplikasi, termasuk aplikasi finansial, yang menggunakan Ether sebagai mata uang untuk pembayaran transaksi di dalamnya. Dengan kata lain, Ethereum adalah infrastruktur yang memungkinkan terciptanya berbagai aplikasi di atas blockchain.
Blockchain Lain dan Potensi “Shitcoin”
Selain Bitcoin dan Ethereum, ada banyak blockchain lain seperti Solana, Avalanche, dan Terra LUNA. Meski belum sebesar Ethereum, platform-platform ini memiliki potensi dan nilai yang berkembang. Namun, tidak semua cryptocurrency memiliki nilai yang sama. Ada juga kategori “shitcoin” atau “memecoin” seperti Dogecoin dan Shiba Inu yang sering kali hanya didorong oleh spekulasi tanpa fundamental yang kuat.
Jeth mencatat bahwa fenomena memecoin ini bukan hanya terjadi di dunia kripto, tetapi juga di dunia saham. Ini adalah bentuk baru dari “self-fulfilling prophecy” di mana semakin banyak orang yang berinvestasi, semakin tinggi harganya, sehingga memicu lebih banyak spekulasi.
Namun, seperti aset lainnya, cryptocurrency juga memiliki kelemahan dan tantangan. Salah satu batasan pertumbuhan kripto adalah kebijakan makroekonomi, seperti penghentian pelonggaran kuantitatif atau kebijakan suku bunga yang lebih tinggi. Saat suku bunga naik, likuiditas di pasar berkurang, dan aset berisiko seperti kripto kemungkinan akan mengalami tekanan.
Selain itu, inflasi yang meningkat bisa menjadi faktor pendorong popularitas kripto sebagai alat lindung nilai (hedge). Namun, jika kekhawatiran terhadap inflasi berkurang, maka permintaan terhadap kripto bisa menurun.
Di sisi lain, perkembangan teknologi juga memegang peran penting. Inovasi di dunia blockchain terus membuka peluang baru untuk menciptakan aplikasi-aplikasi global yang dapat melayani masyarakat dunia secara langsung.
Masa Depan Crypto dan Inklusi Keuangan di Indonesia
Jeth juga menyoroti potensi cryptocurrency untuk meningkatkan inklusi keuangan di Indonesia. Menurutnya, blockchain bersifat global dari awal, yang memungkinkan proyek-proyek kripto mencari pendanaan dari komunitas global. Namun, bagi perusahaan-perusahaan lokal seperti Pintu yang beroperasi di Indonesia, tantangan terbesar adalah bersaing dengan pemain global yang memiliki modal besar.
Saat ini, Indonesia masih bergantung pada modal dari luar negeri untuk mendanai banyak startup dan perusahaan teknologi. Meski demikian, Jeth berharap adanya lebih banyak dana lokal yang dapat mendukung pengusaha di dalam negeri, sehingga mengurangi ketergantungan pada modal asing dan meningkatkan daya saing lokal.
“Kalau kita mau memperbaiki kualitas hidup kita, kita harus mulai dari pendidikan.” Gita Wirjawan – EndGame
Keamanan Blockchain dan Ancaman Quantum Computing
Banyak orang menganggap blockchain sebagai teknologi yang sangat aman, tetapi Jeth mengingatkan bahwa tidak ada yang 100% aman. Ancaman terbesar bagi teknologi ini adalah kemajuan dalam komputasi kuantum (quantum computing). Dengan kemampuan untuk meretas kriptografi yang saat ini digunakan oleh blockchain, komputasi kuantum dapat menjadi ancaman besar di masa depan. Meskipun teknologi tersebut belum tersedia secara luas, perkembangan di bidang ini patut diwaspadai, terutama beberapa tahun ke depan.
Pertumbuhan blockchain yang pesat juga membawa masalah lain, yaitu kebutuhan energi yang sangat besar. Sebagai contoh, Bitcoin membutuhkan sekitar 130 terawatt jam energi per tahun, setara dengan konsumsi energi negara sebesar Argentina. Di negara-negara maju seperti Tiongkok, pembangunan pembangkit listrik bisa dilakukan dengan cepat, namun di banyak negara berkembang, masih terdapat keterbatasan. Ini menimbulkan ketidakcocokan antara penawaran dan permintaan energi.
Namun, ada tren positif di mana blockchain beralih dari penggunaan energi fosil seperti batu bara ke energi terbarukan seperti hidro, surya, dan angin. Selain itu, pergeseran dari sistem “proof of work” yang sangat intensif energi ke “proof of stake” yang lebih hemat energi juga sedang berlangsung. Ethereum, salah satu platform terbesar, berencana untuk beralih ke “proof of stake” pada tahun depan.
Jeth juga membahas tiga tantangan besar yang dihadapi dunia saat ini: perubahan iklim, teknologi, dan globalisasi. Perubahan iklim membutuhkan tindakan cepat untuk mengurangi emisi karbon dan mengadopsi energi terbarukan. Dalam bidang teknologi, perkembangan sangat cepat dan sulit untuk selalu up-to-date, terutama dalam dunia blockchain yang selalu berubah. Globalisasi, di sisi lain, menghadirkan tantangan dalam bentuk “decoupling” antara negara-negara besar seperti Tiongkok dan Amerika Serikat, yang juga berdampak pada industri blockchain.
Masa Depan Blockchain dan Tokenisasi di Indonesia
Dalam konteks Indonesia, Jeth memiliki pandangan optimis tentang masa depan blockchain dan tokenisasi. Ia melihat peluang besar untuk memanfaatkan teknologi blockchain untuk berbagai keperluan, termasuk dalam konteks sosial, budaya, dan politik. Misalnya, blockchain dapat digunakan untuk mencatat data pemilihan umum atau kepemilikan tanah, memastikan transparansi dan akurasi yang lebih tinggi.
Namun, tantangan terbesar adalah adopsi teknologi ini dalam skala yang lebih besar, terutama untuk hal-hal yang bersifat fisik. Data di blockchain harus diverifikasi dengan akurat, dan ini membutuhkan waktu.
Dalam sektor finansial, penggunaan blockchain adalah yang paling cepat berkembang. Selain itu, NFT (Non-Fungible Token) dan seni digital juga menjadi tren yang menarik, terutama di kalangan generasi muda yang sudah terbiasa dengan konsep kepemilikan digital melalui permainan dan in-game items. Menurut Jeth, ini hanya masalah waktu sebelum NFT menjadi lebih umum sebagai bentuk karya seni.
“Cryptocurrency bukan hanya tentang teknologi, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menciptakan inklusi keuangan.” Jeth Soetoyo – EndGame
Sentralisasi vs Desentralisasi: Masa Depan Demokratisasi Ide
Perdebatan tentang desentralisasi versus sentralisasi juga menjadi topik hangat. Banyak sistem tradisional seperti pasar modal dan bank sentral masih sangat sentralistis. Dengan adanya desentralisasi yang dibawa oleh blockchain, diskusi mengenai apakah kita akan menuju ke arah sistem yang lebih desentralistis atau tetap sentralistis menjadi semakin relevan. Jeth juga mengangkat fenomena demokratisasi informasi yang tidak diikuti dengan demokratisasi ide. Meskipun informasi lebih mudah diakses, ide-ide menjadi semakin terpolarisasi. Ia mengusulkan pentingnya toleransi terhadap perbedaan ideologi untuk mendorong kolaborasi yang nyata, yang pada akhirnya dapat menghasilkan inovasi dan kreativitas yang lebih besar.