islam / Tokoh · November 14, 2024

ismail fajri alatas

Debat & Koalisi Ide di Era Imperium Islam – Perspektif Ismail Fajrie Alatas

Dalam perjalanan sejarah Islam, terdapat banyak momen penting yang menunjukkan bagaimana keterbukaan pemikiran menjadi salah satu pilar utama yang mendorong kemajuan peradaban. Salah satunya terjadi pada era imperium Islam, seperti yang dibahas dalam wawancara antara Gita Wirjawan dan Ismail Fajrie Alatas di Endgame episode #202.

Awal Perjalanan Intelegensia Ismail Fajrie Alatas

Profesor Ismail Fajrie Alatas, pengajar Middle Eastern dan Islamic Studies di New York University (NYU), lahir di Semarang pada tahun 1983 dan besar di Jakarta hingga SMP. Ia melanjutkan pendidikan di Australia, Singapura, dan Michigan, Amerika Serikat, sebelum bergabung sebagai dosen di NYU pada tahun 2016 setelah menyelesaikan program doktoralnya.

Sejarah Keterbukaan dan Cikal Bakal Imperium Islam

Sejarah perkembangan imperium Islam erat kaitannya dengan keterbukaan masyarakat terhadap berbagai agama dan budaya. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah (661-750 M), umat Muslim menguasai wilayah luas dari Spanyol hingga Pakistan, tetapi mayoritas penduduknya, yaitu 60-70%, adalah Nasrani.

Fajrie menekankan bahwa keterbukaan terhadap perbedaan keyakinan adalah karakteristik utama imperium Islam. Ia mencatat bahwa pada masa awal, komunitas Muslim bukanlah negara, melainkan komunitas monoteistik yang mencakup berbagai agama, termasuk Yahudi dan Nasrani. Istilah Amirul Mukminin (pemimpin orang-orang beriman) mencerminkan bahwa kepemimpinan saat itu tidak hanya berfokus pada umat Muslim, tetapi juga pada semua yang percaya kepada Tuhan yang satu.

Transformasi Arab Menjadi Imperium

Menariknya, bangsa Arab yang awalnya antipati terhadap gagasan kerajaan, akhirnya belajar dari imperium Persia dan Bizantium tentang cara membangun peradaban dan ekonomi yang kokoh. Akibatnya, mereka bertransformasi menjadi imperium besar yang inklusif. Pada masa kekuasaan Bani Umayyah, konversi ke Islam bahkan tidak dianjurkan, karena Islam dianggap sebagai agama para penakluk. Ada kekhawatiran bahwa jika semua orang menjadi Muslim, tidak akan ada lagi pembedaan antara penguasa dan rakyat biasa.

Untuk menjaga agar penduduk asli wilayah yang ditaklukkan—terdiri dari berbagai etnis seperti Yunani, Suriah, dan Armenia—tidak terganggu oleh keberadaan pasukan Muslim, dibangun kota-kota garnisun atau amsor.

Kematangan Berpikir dan Skeptisisme Sejarah

Fajrie menekankan pentingnya skeptisisme dalam mempelajari sejarah, seperti yang dianjurkan oleh Ibnu Khaldun, sejarawan dan filsuf Muslim terkenal. Ia mencatat bahwa sejarah sering ditulis dengan bias dan kepentingan tertentu.

Pada masa Abbasiyah (750-1258 M), kemajuan intelektual mencapai puncaknya dengan lahirnya ilmuwan besar seperti Ibnu Sina, Al-Kindi, dan Al-Khawarizmi. Fajrie juga menyoroti Baitul Hikmah (House of Wisdom), pusat penelitian, penerjemahan, dan pengembangan ilmu pengetahuan pada masa itu. Keberanian para pemimpin Abbasiyah untuk mengundang ilmuwan dari berbagai latar belakang agama dan budaya—termasuk Hindu, Buddha, Yahudi, dan Nasrani—menunjukkan keterbukaan peradaban Islam terhadap perbedaan ideologi. Bahkan, Baitul Hikmah pernah dipimpin oleh non-Muslim.

Keterbukaan pemikiran ini melampaui penerjemahan karya ilmiah dan mencakup pengembangan gagasan baru. Para ilmuwan Muslim, seperti Al-Ghazali, tidak hanya mengadopsi pengetahuan dari luar, tetapi juga membangun struktur epistemologi Islam yang mampu menyaring dan menilai mana yang sesuai dengan teologi mereka. Dengan demikian, Islam tidak hanya menjadi agama yang melestarikan warisan pengetahuan, tetapi juga menjadi agama yang inovatif dalam mengembangkan ilmu pengetahuan baru.

gita wirjawan bersama ismail fajri alatas
Gita Wirjawan bersama Ismail Fajri Alatas

Pengaruh Aristotelian dalam Ilmu Pengetahuan Islam

Menurut Alatas, salah satu kontribusi penting periode Abbasiyah adalah pengadopsian logika Aristotelian dalam ajaran ilmiah Islam. Filsafat ini tetap diajarkan di pesantren besar di Indonesia sebagai logika formal.

Logika ini menjadi fondasi bagi ilmuwan dan ulama dalam mengembangkan argumen teologis dan ilmiah, termasuk dalam hukum Islam. Contohnya adalah analogical reasoning dalam fikih yang dipengaruhi oleh logika Aristotelian, menunjukkan bahwa peradaban Islam tidak hanya mewarisi warisan Yunani, tetapi juga mengembangkannya untuk kebutuhan intelektual dan spiritual mereka.

Pertentangan dan Perdebatan Teologis dalam Masyarakat Islam

Meskipun banyak ulama terbuka terhadap perkembangan ilmiah, masyarakat saat itu menghadapi ketegangan antara aliran pemikiran konservatif dan rasional. Perdebatan ini, menurut Alatas, menjaga dinamika intelektual di dunia Islam.

Pada masa Khalifah Al-Ma’mun, ada upaya teologi negara yang memperkenalkan inquisitions, menekan pandangan yang tidak sejalan dengan doktrin resmi. Ketegangan ini, meskipun menciptakan konflik, juga menghasilkan sintesis yang lebih mendalam, seperti yang ditunjukkan oleh karya Imam Al-Ghazali.

Kegagalan Teologi Negara dan Kekuatan Ulama

Upaya Al-Ma’mun untuk memaksakan teologi negara yang ketat akhirnya gagal, salah satunya karena munculnya kekuatan ulama yang menentang penguasa. Ulama yang sebelumnya hanya mengajar di desa-desa mulai mendapatkan pengaruh besar di kalangan masyarakat karena keteguhan mereka dalam mempertahankan keyakinan.

Perpecahan antara negara dan ulama terjadi, dengan ulama berfungsi sebagai check and balance terhadap kekuasaan khalifah. Ini menjadikan struktur keagamaan Islam lebih independen dan menjadi landasan bagi perkembangan ilmu pengetahuan serta pemikiran kritis dalam dunia Islam.

Namun, peradaban Islam mengalami tantangan besar dengan invasi Mongol pada tahun 1258 yang meluluhlantakkan pusat-pusat intelektual seperti Baghdad. Meskipun setelah invasi ini Mongol berusaha membangun kembali beberapa struktur pengetahuan, ada kekosongan yang lama, yang mengakibatkan terhentinya beberapa perkembangan ilmiah yang signifikan pada masa itu.

Peran Peradaban Asia Tenggara dalam Jaringan Perdagangan Dunia

Alatas juga menyoroti peran penting Indonesia dalam sejarah perdagangan global sebagai persimpangan antara Timur Tengah dan Cina. Peradaban maritim seperti Sriwijaya dan negara-negara Islam di Asia Tenggara, seperti Samudra Pasai, Aceh, dan Malaka, lebih fokus pada perdagangan internasional daripada ekspansi teritorial.

Mereka menjadi pusat perdagangan yang menghubungkan berbagai budaya dan komoditas dari Cina, India, hingga Timur Tengah, berbeda dengan pendekatan agraris yang diambil oleh peradaban seperti Majapahit.

Pengaruh Pandemi dalam Sejarah Dunia

Alatas juga mengungkapkan fakta menarik bahwa pandemi yang melanda Romawi pada abad kelima sebenarnya dipicu oleh kegiatan maritim bangsa Indonesia, yang mengajarkan orang Afrika untuk menanam padi. Hal ini menyebabkan penyebaran penyakit malaria yang kemudian menjadi pandemi besar. Meskipun banyak yang tidak mengetahui keterlibatan Indonesia dalam peristiwa besar ini, ini menunjukkan betapa luas dan dalam pengaruh peradaban Asia Tenggara dalam sejarah global.

gita wirjawan-debat dan koalisi ide di era imperium islam

“Apa yang saya pelajari adalah, it’s not only what you have to say but how you say it that matters.”Gita Wirjawan – EndGame

Negara Modern dan Intervensi Terhadap Hukum Agama

Alatas mengungkapkan bahwa munculnya negara modern telah mengubah hubungan antaragama dengan campur tangan dalam urusan hukum agama. Di masa lalu, negara-negara seperti Abbasid dan Umayyah tidak mencampuri hukum pribadi komunitas, termasuk hukum Islam dan Yahudi. Namun, di negara modern, ada upaya untuk menyamakan standar hukum, yang termasuk perhatian terhadap isu minoritas agama.

Di Mesir, contohnya, orang Koptik yang sebelumnya mengikuti hukum dan tradisi mereka sendiri kini terpaksa mengikuti hukum yang diseragamkan oleh negara, menciptakan ketegangan baru karena mereka dianggap sebagai minoritas yang harus diatur.

Mengharmoniskan Kembali Agama-agama Abrahamik

Alatas percaya bahwa keharmonisan antar agama dapat tercapai jika negara tidak terlalu mencampuri urusan agama. Ia mendukung pendekatan di mana negara berfungsi sebagai fasilitator, bukan pengatur, dalam kehidupan beragama. Menurutnya, “Komunitas-komunitas beragama memiliki tradisinya sendiri dalam membangun hubungan, dan mereka bisa berkembang tanpa terjebak dalam politik negara.”

Ia juga menekankan pentingnya melibatkan masyarakat sipil, termasuk komunitas agama, sebagai mitra dalam merumuskan kebijakan publik. Negara seharusnya mendukung institusi-institusi agama yang sudah ada, bukan menggantikan mereka, agar dapat berkontribusi lebih besar dalam kehidupan sosial dan pendidikan.

Tantangan Budaya Politik di Asia Tenggara

Alatas menyoroti bahwa Asia Tenggara memiliki potensi besar dalam membangun persatuan dan keharmonisan setelah lebih dari 2000 tahun perbedaan etnis dan agama. Ia mencatat budaya pragmatisme di kawasan ini telah berhasil menjaga hubungan antar komunitas. Namun, kekurangan budaya prinsip—seperti perjuangan untuk kualitas barang publik dan kesejahteraan—masih menjadi tantangan.

Singapura dijadikan contoh sukses, karena negara ini berhasil meningkatkan kualitas kehidupan publik melalui demokratisasi dan kerjasama dengan komunitas agama. Meski demikian, tantangan tetap ada, terutama dalam mengembangkan budaya politik yang tidak hanya menciptakan kedamaian, tetapi juga kesejahteraan dan keadilan sosial.

Peran Negara dalam Pendidikan dan Kemitraan dengan Masyarakat Sipil

Alatas menekankan pentingnya peran negara dalam memajukan pendidikan dan fasilitas publik melalui kerjasama dengan masyarakat sipil. Ia mencontohkan Amerika Serikat, di mana negara mendukung institusi agama seperti gereja sebagai pusat pendidikan dan civic education.

Di Indonesia, Alatas berpendapat bahwa negara sebaiknya memperkuat kerjasama dengan institusi yang sudah ada, bukan menciptakan institusi baru yang dapat bersaing dengan yang telah terbentuk secara organik. Negara perlu melihat institusi-institusi ini sebagai mitra dalam mewujudkan kebijakan pendidikan dan pembangunan.

“Kita perlu mengubah narasi pendidikan kita, supaya lebih berbasis pada imajinasi, cerita, dan tidak hanya pada data. Karena narasi yang kuat akan memengaruhi dunia.” Ismail Fajrie Alatas – EndGame

Pesantren: Lebih dari Sekadar Institusi Pendidikan

Menurut Alatas, pesantren lebih dari sekadar lembaga pendidikan tradisional; ia berfungsi sebagai institusi yang membentuk karakter melalui nilai-nilai dan tradisi. “Pesantren adalah institusi tradisi dan tradisi itu adalah bentuk kehidupan,” ujarnya.

Pendidikan di pesantren tidak hanya fokus pada teori, tetapi juga pada pembentukan komunitas yang mendidik individu untuk hidup dalam kebaikan dan persahabatan. Alatas menekankan bahwa untuk menjadi individu yang baik, seseorang perlu dikelilingi oleh orang-orang yang baik, dan pesantren berperan dalam menciptakan lingkungan tersebut.

Mengapa Tradisi dan Inovasi Harus Seimbang?

Alatas mengkritik upaya mengubah pesantren menjadi lembaga pendidikan modern yang terlalu fokus pada inovasi dan teknologi, karena hal ini bisa menghilangkan esensi pesantren yang berakar pada tradisi. “Pesantren seharusnya tetap menjadi institusi tradisi yang menjadi fondasi bagi manusia Indonesia,” tegasnya. Meski begitu, Alatas juga mengakui pentingnya keterbukaan terhadap inovasi.

Ia berpendapat bahwa tradisi harus berkembang melalui debat dan diskusi yang sehat, baik dalam komunitas maupun dengan masyarakat luar. Dengan demikian, pesantren perlu menjaga keseimbangan antara pelestarian nilai-nilai lama dan penerimaan terhadap perubahan.

Kualitas Pendidikan dan Kebutuhan akan Intervensi Negara

Alatas mengkhawatirkan kualitas pendidikan di Indonesia, menyoroti jumlah institusi yang banyak namun kualitasnya sering kali diragukan. Ia berpendapat bahwa Indonesia memiliki terlalu banyak universitas, tetapi hasil pendidikan mereka sering tidak memenuhi standar internasional.

Selain itu, ia mengkritik kurangnya arah yang jelas dalam pendidikan, yang mengakibatkan kurangnya spesialisasi di antara universitas. Alatas mengusulkan agar negara campur tangan untuk menyediakan jalur yang jelas, memastikan setiap institusi memiliki spesialisasi dan kekuatan yang berbeda, sehingga pendidikan yang diberikan lebih terarah dan bermanfaat bagi pembangunan bangsa.

Apakah Solusi Dua Negara Masih Mungkin?

Alatas berpendapat bahwa solusi dua negara (two-state solution) hampir mustahil dicapai dalam konflik Israel-Palestina, terutama terkait pengelolaan sumber daya alam yang krusial, seperti air. Israel sangat bergantung pada sumber air di West Bank, sehingga jika wilayah tersebut merdeka, akan timbul pertanyaan besar tentang pengelolaannya.

Selain itu, Alatas menyebut visi Theodor Herzl, pendiri Zionisme, tentang Israel yang harmonis antara Arab dan Yahudi tidak terwujud. Herzl membayangkan sebuah Israel di mana rumah-rumah Arab dan Yahudi berdampingan dalam kedamaian, tetapi kenyataannya sangat berbeda. Konflik yang terus berlanjut dan dominasi ideologi etnis semakin mengarah pada genosida.

Keterlibatan Indonesia di Panggung Internasional

Sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar dan demokrasi terbesar ketiga di dunia, Indonesia seharusnya lebih aktif dalam diplomasi global, terutama di Timur Tengah. Alatas menilai Indonesia memiliki pengaruh signifikan tetapi belum memanfaatkan potensi tersebut secara optimal.

“Kenapa Indonesia tidak bisa menjadi interlokutor yang natural di Timur Tengah? Kita diakui sebagai negara Muslim terbesar, tetapi kenapa kita tidak memainkan peran lebih besar dalam mengatasi konflik di sana?” ungkap Alatas. Meskipun Indonesia tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, negara ini diharapkan bisa memimpin dalam meredakan ketegangan di wilayah tersebut.

Namun, Alatas juga mencatat adanya rasa rendah diri di kalangan masyarakat Indonesia yang menganggap negara ini sebagai periferi dalam dunia Islam. Padahal, Soekarno, presiden pertama Indonesia, selalu melihat dirinya sebagai pemimpin dunia Muslim. Pandangan ini seharusnya menginspirasi generasi sekarang untuk memandang kembali peran Indonesia secara global.

Krisis Narasi di Indonesia

Alatas juga menyoroti krisis narasi di Indonesia, di mana negara ini kurang memiliki narasi koheren yang dapat diterima oleh dunia internasional. Ia mencatat bahwa sistem pendidikan di Indonesia cenderung doktriner dan kurang menghargai pentingnya bercerita (storytelling), yang menjadi salah satu penyebabnya.

“Orang-orang di pesantren sangat pintar bercerita, tetapi di sistem pendidikan modern kita, cerita ini kurang dihargai,” ujar Alatas. Padahal, storytelling adalah kunci untuk membuka imajinasi dan menciptakan narasi yang dapat menginspirasi dunia.

Ia percaya Indonesia perlu mengubah pendekatannya terhadap pendidikan dengan tidak hanya fokus pada data dan fakta, tetapi juga pada kemampuan bercerita, agar bisa bersaing di tingkat internasional.

Potensi Diaspora Indonesia

Salah satu kekuatan yang dapat dimanfaatkan Indonesia adalah potensi diasporanya. Alatas mencatat bahwa negara-negara seperti India dan Israel telah berhasil menggunakan diaspora mereka untuk mempengaruhi dunia. Dengan jumlah penduduk yang besar dan tersebar di berbagai belahan dunia, Indonesia memiliki potensi serupa.

Pemerintah Indonesia, melalui program beasiswa seperti LPDP, telah memberikan kesempatan bagi generasi muda untuk belajar di luar negeri. Namun, Alatas menilai kebijakan tersebut belum cukup untuk mengoptimalkan potensi ini. Diaspora Indonesia perlu didorong untuk berkarir di luar negeri dan memperkuat jaringan internasional, bukan hanya disuruh pulang setelah menyelesaikan studi.

Artikel
Debat & Koalisi Ide di Era Imperium Islam - Perspektif Ismail Fajrie Alatas
Article Name
Debat & Koalisi Ide di Era Imperium Islam - Perspektif Ismail Fajrie Alatas
Description
Bahas pemikiran Ismail Fajrie Alatas tentang debat dan kolaborasi ide di Imperium Islam. Menelusuri dinamika intelektual dan koalisi pemikiran Islam.