Dalam wawancara di “Endgame,” kita berkesempatan mendengarkan wawasan dari Dino Patti Djalal, seorang diplomat ulung yang telah banyak berkontribusi dalam dunia diplomasi Indonesia. Dino berbicara tentang perjalanan hidupnya dan bagaimana pengalamannya di berbagai negara membentuk pandangannya tentang pentingnya diplomasi dalam menjaga perdamaian dunia.
Menjadi Diplomat: Sebuah Keputusan Hidup
Dino lahir di Yugoslavia, sebuah negara yang kini sudah tidak ada lagi. Sejak kecil, ia sering berpindah-pindah negara mengikuti ayahnya yang juga seorang diplomat. Pengalaman ini membuatnya sadar akan pentingnya kedaulatan dan persatuan nasional yang tidak bisa dianggap remeh. Saat beranjak dewasa, Dino memutuskan untuk mengikuti jejak ayahnya menjadi diplomat, sebuah profesi yang ia anggap sebagai cara terbaik untuk berkontribusi bagi bangsa dan dunia.
Salah satu pengalaman yang paling mempengaruhi Dino adalah ketika membaca buku Bung Karno, “Di Bawah Bendera Revolusi,” saat bekerja sebagai tukang cuci di Washington DC. Buku tersebut menginspirasinya untuk mendalami ilmu politik dan hubungan internasional. Ia kemudian melanjutkan pendidikan hingga meraih gelar PhD di London School of Economics.
Dino membahas berbagai prestasi diplomasi Indonesia, salah satunya adalah Deklarasi Juanda yang berhasil mengubah pandangan dunia tentang wilayah laut Indonesia. Deklarasi ini memastikan bahwa semua laut di antara pulau-pulau Indonesia adalah bagian dari wilayah nasional. Meskipun mendapat tentangan dari negara-negara maritim besar seperti Amerika Serikat dan Inggris, Indonesia berhasil meyakinkan dunia bahwa langkah ini benar.
Dino mengidolakan tokoh-tokoh diplomat Indonesia seperti Ali Alatas dan Mukhtar Kusumaatmadja. Ali Alatas, misalnya, dikenal atas keberhasilannya dalam menyelesaikan konflik di Kamboja, meskipun pada saat itu banyak pihak meragukan bahwa konflik tersebut bisa diselesaikan. Menurut Dino, kualitas seorang diplomat yang baik bukan hanya cerdas dan artikulatif, tetapi juga mampu menyentuh hati dan meyakinkan lawannya.
Menurut Dino, untuk menghasilkan diplomat-diplomat hebat di masa depan, Indonesia perlu memiliki sistem kaderisasi yang baik, meritokrasi, dan memori institusional yang kuat. Pengalaman buruk seperti yang terjadi di Timor Timur harus dipelajari agar tidak terulang. Dino menekankan pentingnya memahami pelajaran dari masa lalu dan menerapkan pengetahuan tersebut dalam diplomasi masa depan.
“Tidak ada yang memiliki konsep untuk merubah tatanan dunia baru, baik politik maupun ekonomi. Kita terjebak, tatanan lama sudah tidak relevan, dan yang baru belum terbentuk. Bahkan Indonesia belum memiliki konsep yang jelas.” – Dino Patti Djalal – EndGame
Strategi dan Tantangan ASEAN dalam Geopolitik
ASEAN (Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) selalu dianggap sebagai organisasi regional yang memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas kawasan. Dino Patti Djalal, mengungkapkan berbagai tantangan dan strategi ASEAN di tengah rivalitas geopolitik yang semakin parah. Artikel ini merangkum pandangan dan analisis Djalal, serta pentingnya ASEAN dalam percaturan global.
Indonesia dianggap sebagai pemimpin alami di Asia Tenggara, sebuah kawasan di mana negara-negara anggotanya memandang Indonesia dengan peran strategis yang signifikan. Menurut Djalal, Asia Tenggara adalah wilayah di mana Indonesia paling bisa berdampak dibanding kawasan lain seperti Timur Tengah atau Eropa. Keberhasilan Indonesia dalam membangun arsitektur kawasan yang baik menjadi faktor penting dalam menghadapi rivalitas geopolitik yang semakin intens.
Sentralitas ASEAN saat ini menghadapi kritik, terutama dari luar negeri. Meski ASEAN memiliki ukuran ekonomi dan populasi yang signifikan, seringkali kawasan ini tidak mendapat perhatian yang seharusnya. Banyak pihak lebih tertarik membahas Taiwan atau Korea Selatan yang memiliki skala ekonomi dan populasi lebih kecil dibanding ASEAN. Hal ini menunjukkan adanya tantangan dalam menjaga relevansi dan sentralitas ASEAN di mata dunia.
Salah satu kelemahan utama ASEAN, termasuk Indonesia, adalah keengganan untuk terlibat secara aktif dalam geopolitik. Dalam delapan tahun terakhir, geopolitik menjadi panglima utama, namun ASEAN dan Indonesia masih cenderung malu-malu dalam memainkan peran ini. Untuk menjaga sentralitas ASEAN, Djalal menekankan pentingnya ASEAN untuk menghasilkan kebijakan strategis yang konkret dan relevan.
Dengan munculnya berbagai aliansi seperti Quad (Amerika Serikat, Jepang, Australia, dan India) dan AUKUS (Australia, Inggris, dan Amerika Serikat), ASEAN harus lebih aktif dan responsif. Hubungan antara ASEAN dengan aliansi-aliansi ini perlu dijaga agar tidak menimbulkan mistrust dan konflik yang lebih besar. Djalal menekankan pentingnya ASEAN untuk keluar dari zona nyaman dan lebih berperan aktif dalam inisiatif global demi menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan.
Pengaruh Tiongkok yang semakin kuat di kawasan Asia Pasifik, termasuk Asia Tenggara, menjadi tantangan tersendiri bagi ASEAN dan Indonesia. Tiongkok telah menjadi mitra dagang terbesar bagi hampir seluruh negara di kawasan ini. Di sisi lain, pengaruh Amerika Serikat di kawasan relatif berkurang dibandingkan beberapa dekade lalu. Amerika harus lebih aktif dalam bidang diplomatik untuk menjaga keseimbangan kekuatan di kawasan.
Indonesia perlu lebih aktif dalam menyuarakan pandangannya di forum internasional seperti Shangri-La Dialogue dan Munich Security Conference. Keterlibatan ini penting untuk memastikan bahwa narasi dan kepentingan Indonesia didengar dan diperhitungkan. Djalal menggarisbawahi kurangnya kehadiran dan suara Indonesia di forum-forum ini, yang seharusnya bisa menjadi platform untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.
Dalam menghadapi tantangan geopolitik yang semakin kompleks, ASEAN dan Indonesia harus lebih berani dan aktif dalam memainkan peran strategis. Sentralitas ASEAN harus dijaga melalui kebijakan yang konkret dan relevan, serta keterlibatan aktif di berbagai inisiatif global. Indonesia, sebagai pemimpin alami di kawasan, perlu menyuarakan pandangannya lebih kuat di panggung internasional untuk memastikan kepentingan nasional dan regional tetap terjaga.
Dengan strategi yang tepat dan keterlibatan aktif, ASEAN bisa menjadi obat permusuhan bangsa-bangsa, menjaga stabilitas, dan keseimbangan di kawasan Asia Tenggara.
“Asia Tenggara dengan ekonomi $3,5 triliun dan populasi 600 juta sering diabaikan, sementara Taiwan dan Korea Selatan yang lebih kecil justru lebih banyak dibicarakan. Ini ironi yang sinis.” Gita Wirjawan – EndGame
Mengatasi Tantangan Multilateralisme dalam Dunia Multipolar
Dino Patti Djalal menjelaskan bahwa peran lembaga multilateral kini mengalami stagnasi akibat konflik seperti perang di Ukraina. UNESCO, WHO, dan Dewan Keamanan PBB menghadapi kesulitan karena perpecahan dan konflik yang terjadi. Sebaliknya, negara-negara middle power seperti Indonesia, India, Jepang, dan Australia lebih mampu menjaga harmoni dalam multilateralisme.
Dino juga mengamati adanya fenomena di mana negara-negara mulai mencari saluran baru untuk mencapai tujuan mereka, seperti pembentukan bank oleh Tiongkok atau kerjasama dalam BRICS yang semakin aktif. Hal ini menunjukkan bahwa jika jalur multilateral tradisional tidak berjalan, negara-negara cenderung membuat inisiatif baru.
Namun, salah satu masalah utama adalah bahwa tatanan dunia yang dibangun oleh Amerika Serikat setelah Perang Dunia II, yang dikenal sebagai “liberal international order,” kini dianggap usang oleh banyak pihak. Meskipun negara-negara non-Barat memahami masalah yang ada, tidak ada konsensus jelas mengenai bagaimana membangun tatanan dunia baru yang lebih adil dan efektif, baik secara politik maupun ekonomi.
Dino Patti Djalal juga menyoroti bagaimana negara-negara Global South, termasuk India dan Tiongkok, kini bersaing untuk menjadi pemimpin baru dalam multilateralisme. Meskipun Indonesia memiliki potensi besar dengan sejarah sebagai pendiri Gerakan Non-Blok dan Konferensi Asia-Afrika, ambisi untuk menjadi pemimpin global masih belum terlihat jelas.
Di tengah tantangan multilateralisme, Dino menekankan pentingnya aspirasi dan semangat diplomat muda untuk mengatasi kecenderungan meningkatnya bilateralisme dan plurilateralism. Ia juga menyoroti pentingnya solusi multilateral dalam menghadapi isu-isu global seperti perubahan iklim yang memerlukan kolaborasi seluruh negara.
Tantangan dan Solusi dalam Narasi Pembangunan dan Keberlanjutan
Dino Patti Djalal mengangkat paradoks dalam narasi pembangunan dan keberlanjutan. Meskipun narasi keberlanjutan indah, hanya sebagian kecil populasi dunia yang benar-benar terlibat di dalamnya. Sebagian besar masih fokus pada kebutuhan dasar seperti makanan. Oleh karena itu, untuk merekonsiliasi narasi keberlanjutan dan modernisasi, dibutuhkan keterbukaan terhadap teknologi dan modal.
Ia mencontohkan elektrifikasi sebagai indikator modernitas, di mana negara seperti India dan Indonesia memerlukan peningkatan signifikan dalam elektrifikasi untuk mencapai modernitas. Namun, ini memerlukan waktu dan investasi besar. Dino menggarisbawahi pentingnya dukungan teknologi dan modal, serta perlunya solusi yang adil dan berkelanjutan.
Dalam konteks perubahan iklim, Dino menyoroti konsep “just transition” atau transisi yang adil. Negara-negara maju memiliki tanggung jawab besar untuk mendukung transisi ini, termasuk komitmen finansial yang sering kali belum terpenuhi. Program JETP (Just Energy Transition Partnership) di Indonesia, misalnya, menjanjikan bantuan sebesar 20 miliar dolar untuk mendukung transisi energi bersih. Keberhasilan program ini dapat menjadi contoh bagi negara-negara lain.
Dino Patti Djalal menekankan pentingnya peran generasi muda dalam isu perubahan iklim. Dengan populasi pemilih muda yang besar, mereka memiliki potensi untuk memilih pemimpin yang memahami dan berkomitmen pada keamanan iklim. Organisasi seperti FPCI aktif dalam mengedukasi dan menginspirasi anak muda untuk terlibat dalam aksi iklim.
Namun, Dino juga mengakui tantangan dalam mengkomunikasikan isu-isu kompleks seperti perubahan iklim kepada publik yang lebih luas. Tren dumbing down dan peran media sosial yang sering kali lebih mempromosikan sensasionalisme daripada pemikiran yang cerdas, menjadi hambatan dalam mendorong diskusi yang konstruktif dan berwawasan.
Di akhir wawancara, Dino Patti Djalal berbicara tentang paradoks dalam demokrasi modern, di mana kekuasaan dan uang sering kali menjadi tujuan utama, mengalahkan semangat pelayanan publik. Ia menekankan bahwa demokrasi sejati haruslah mengenai pengabdian kepada masyarakat, bukan hanya tentang meraih kekuasaan.
Sebagai contoh, ia menyebut pentingnya menemukan titik optimal antara kekuasaan dan talenta dalam kepemimpinan. Pemimpin yang efektif adalah mereka yang tidak hanya memiliki kekuasaan, tetapi juga kemampuan untuk mendistribusikan manfaat publik secara adil dan efisien.
“Kita harus tegas dengan apa yang kita inginkan dan fokus pada modal, baik ekonomi, teknologi, atau sosial. Siapapun yang bisa mendatangkan modal adalah yang berarti untuk kita.” Gita Wirjawan – EndGame
Peran Indonesia dalam Diplomasi Global
Dalam hal perdagangan, Tiongkok menjadi pemain dominan dengan perdagangan Indonesia mencapai lebih dari 100 miliar dolar, jauh melampaui Amerika Serikat. Namun, India muncul sebagai kejutan, dengan hubungan perdagangan yang meningkat signifikan hingga mencapai 30 miliar dolar. Selain ekonomi, India juga semakin berperan dalam geopolitik, terutama terkait Indo-Pasifik, dan memiliki ambisi untuk memimpin Global South. Rivalitas antara India dan Tiongkok memberikan Indonesia peluang untuk memainkan peran sebagai penyeimbang.
Konsep “bebas aktif” dalam diplomasi Indonesia kini lebih kompleks daripada sebelumnya. Indonesia tidak hanya bebas menentukan sikap, tetapi juga harus memaksimalkan keseimbangan dan manfaat dari setiap hubungan internasional. Pendekatan ini memungkinkan Indonesia untuk berinteraksi dengan berbagai negara demi keuntungan nasional, tanpa terikat pada satu blok tertentu.
Peran Strategis Indonesia
Indonesia memiliki kedekatan dengan Amerika Serikat dan Tiongkok, memberikan peluang untuk menjadi penengah dalam berbagai konflik internasional. Misalnya, Indonesia dapat mengundang kedua negara tersebut untuk berpartisipasi dalam workshop informal guna merumuskan langkah-langkah kolaboratif. Pendekatan ini bisa mencairkan ketegangan dan menunjukkan bahwa kerja sama antara kedua negara besar ini mungkin.
Indonesia, sebagai demokrasi terbesar ketiga dan negara dengan populasi Muslim terbesar, memiliki potensi besar untuk menjembatani konflik global, seperti antara Palestina dan Israel. Kepemimpinan yang efektif dan kemampuan untuk mengartikulasikan narasi yang relevan sangat penting dalam mencapai peran ini.
Keberhasilan diplomasi sering kali bergantung pada kemampuan untuk menyampaikan pesan dengan baik. India dan Singapura adalah contoh negara yang berhasil menggunakan storytelling untuk memperkuat posisi mereka di panggung internasional. Indonesia perlu mengembangkan kemampuan serupa untuk lebih menonjol di kancah global.
Dino Patti Djalal menyoroti bahwa kekuasaan formal bukanlah satu-satunya jalan untuk memberikan dampak signifikan. Melalui Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI), yang kini menjadi kelompok hubungan internasional terbesar di Indo-Pasifik, Dino menunjukkan bahwa individu dan organisasi dapat membuat perubahan besar bahkan di luar struktur pemerintahan.