Isu perubahan iklim semakin mendesak, dan banyak pihak bertanya-tanya, apakah kita memerlukan seorang pemimpin yang kuat dan tegas, bahkan seorang “diktator baik hati,” untuk mengatasi krisis ini? Dalam episode Endgame bersama Gita Wirjawan, Eli Sandler—seorang Fellow di Belfer Center, Kennedy School of Government, Harvard University—membahas pertanyaan ini dan isu-isu lainnya yang berkaitan dengan kepemimpinan, politik, dan lingkungan.
Latar Belakang Eli Sandler
Eli Sandler lahir di kibbutz di Israel, dekat Yordania dan Laut Mati. Meski tumbuh di komunitas kecil, ia sering berpindah negara mengikuti pekerjaan ibunya sebagai profesor hukum internasional. Eli belajar politik, filsafat, dan ekonomi di Universitas Oxford, dengan minat utama pada filsafat yang memberinya perspektif mendalam tentang dunia. Pendidikan ini membantunya memahami dinamika politik, ekonomi, dan moralitas dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim.
Pengaruh terbesar Eli datang dari ibunya, seorang pengajar hukum lingkungan internasional yang fokus pada pengelolaan sumber daya air di Lembah Yordan. Meski awalnya tidak tertarik, Eli akhirnya mengikuti jejak ibunya. Dari ayahnya yang tumbuh di pertanian dan mendirikan kibbutz, Eli belajar tentang kehidupan sederhana, kerja keras, dan kemandirian.
Eli, sebagai lulusan filsafat, percaya bahwa meski pendidikan klasik seperti Latin dan Yunani dulu lebih dihargai, generasi sekarang menghadapi lebih banyak informasi untuk disaring. Menurutnya, meski mahasiswa modern tidak mengutip Cicero atau Marcus Aurelius, mereka tetap menjalani proses filosofis yang sama. Filsafat, menurut Eli, tetap relevan dalam memahami moralitas dan etika, terutama dalam menghadapi tantangan global seperti perubahan iklim.
Apakah AI Dapat Menggantikan Pemikiran Manusia?
Eli membahas bagaimana AI, seperti AlphaGo, telah mengubah strategi catur dan mungkin cara kita berpikir tentang hidup. Meskipun AI dapat menguasai strategi tanpa pengalaman manusia, Eli percaya manusia tetap memiliki kebijaksanaan unik. Ini memunculkan pertanyaan: jika AI bisa memecahkan masalah rumit, bisakah kita mengandalkan teknologi untuk mengatasi krisis iklim, atau masih diperlukan kepemimpinan manusia yang bijaksana untuk membuat keputusan sulit?
Peran Kepemimpinan dalam Mengatasi Krisis Iklim
Eli mempertanyakan apakah dunia memerlukan pemimpin kuat, bahkan seorang “diktator baik hati,” untuk menghadapi krisis iklim. Meski keputusan cepat tanpa proses demokratis bisa diambil, ada risiko terhadap hak asasi dan kebebasan individu. Menurut Eli, solusi terbaik bukan kekuasaan absolut, melainkan kepemimpinan berbasis kolaborasi internasional, pengambilan keputusan berdasarkan data, dan inovasi teknologi hijau.
Tantangan Perubahan Iklim: Apakah Upaya Saat Ini Cukup?
Menurut Eli Sandler, jawabannya adalah “tidak.” Meski ada target global untuk menahan pemanasan di bawah 2°C, kebijakan saat ini tidak cukup. Model iklim dan ekonomi menunjukkan ketidakpastian, tetapi jelas kebijakan banyak negara dan perusahaan tidak sejalan dengan ambisi tersebut. Janji-janji ada, tetapi realisasinya masih jauh dari harapan. Pendanaan energi bersih, penetapan harga karbon, dan perubahan perilaku diperlukan, namun itu semua masih belum cukup untuk mengatasi krisis iklim.
Bisakah Diktator Benevolent Menjadi Solusi?
Sandler berpendapat bahwa jika seorang “diktator baik hati” bisa mengubah dunia seketika, mungkin laju perubahan iklim bisa dikendalikan. Ia membandingkannya dengan perubahan besar selama Perang Dunia II, ketika AS mengalihkan ekonominya sepenuhnya ke manufaktur perang, bahkan menahan warga keturunan Jepang. Namun, ia mempertanyakan apakah perubahan drastis seperti itu, meskipun efektif, benar-benar diinginkan. Ini bukan hanya persoalan politik, tetapi juga ekonomi dan moral. Apakah kita siap berkorban besar demi tujuan iklim, atau ada cara lain yang lebih berkelanjutan?
Fragmentasi Global dan Tantangan Koordinasi Internasional
Sandler berpendapat bahwa dunia multipolar saat ini, dengan kekuatan seperti China dan Rusia yang menantang dominasi AS, bisa menjadi positif untuk perubahan iklim. Ia mencontohkan bagaimana persaingan AS dan Uni Soviet selama Perang Dingin mendorong proyek ambisius seperti pendaratan di bulan. Namun, multipolaritas juga membuat kesepakatan global semakin sulit dicapai. Banyak yang berharap adanya momen internasional besar, seperti Bretton Woods pasca Perang Dunia II, untuk menyatukan dunia dalam melawan perubahan iklim.
Sandler menekankan bahwa solusi pengurangan emisi tidak tergantung pada perjanjian internasional baru. Yang dibutuhkan adalah perubahan bertahap di tingkat nasional dan lokal, dengan kebijakan yang mendukung energi bersih dan menghukum penggunaan energi kotor. Meskipun kesepakatan internasional untuk perdagangan dan energi bersih bisa membantu, kunci utamanya ada pada kebijakan nasional setiap negara.
Ambisi Nasional: Kunci untuk Menghadapi Krisis Iklim
Menurut Sandler, ambisi nasional adalah kunci dalam menghadapi krisis iklim. Negara-negara seperti China, Indonesia, Chile, dan AS perlu mengambil langkah berani untuk mengatasi perubahan iklim sambil mempertimbangkan dampak ekonominya. Ia berpendapat bahwa fragmentasi global bisa memicu kompetisi sehat antar negara, seperti yang terjadi selama Perang Dingin. Kompetisi ini, meskipun berpotensi menimbulkan ketegangan, juga bisa mendorong negara-negara untuk meningkatkan ambisi mereka, berlomba-lomba menunjukkan keunggulan dalam teknologi hijau dan keberlanjutan.
Investasi dalam Transisi Energi: Bukan Sekadar Pengeluaran
Sandler membedakan antara investasi di perawatan kesehatan dan transisi energi. Menurutnya, perawatan kesehatan sering dianggap sebagai pengeluaran, sedangkan transisi energi adalah investasi jangka panjang dengan potensi keuntungan besar. Meski transisi energi memerlukan dana besar, seperti $2 triliun, ini bukan sekadar untuk menciptakan energi, tetapi juga mendukung pertumbuhan ekonomi melalui penciptaan aset berkelanjutan.
Salah satu sektor penting adalah pembangkit listrik, yang menawarkan keuntungan stabil karena listrik selalu memiliki pembeli, terutama dengan perjanjian yang menjamin harga dan pasokan. Selain itu, manufaktur kendaraan listrik juga memiliki peluang besar, terutama di Asia, di mana pertumbuhan ekonomi dan permintaan kendaraan semakin meningkat.
Beberapa bagian dari transisi energi lebih menantang dari sisi bisnis, seperti pembangunan jaringan listrik. Di negara maju, jaringan listrik bisa menghasilkan keuntungan dengan mengenakan biaya untuk aliran listrik, mirip dengan jalan tol. Namun, di negara berkembang seperti Indonesia, jaringan listrik umumnya dimiliki pemerintah, sehingga investasi dalam pembangunan jaringan ini sering membebani anggaran negara. Meski begitu, pembangunan jaringan listrik memungkinkan lebih banyak rumah tangga terhubung, yang pada akhirnya dapat meningkatkan konsumsi listrik dan pendapatan negara.
Narasi dan Peluang Investasi di Indonesia
Narasi iklim yang efektif sangat penting untuk menarik modal internasional. Sandler menekankan bahwa investor global perlu melihat negara-negara berkembang, seperti Indonesia, sebagai peluang bisnis menguntungkan, bukan sekadar amal. Dengan potensi menjadi ekonomi besar, Indonesia perlu narasi yang meyakinkan untuk menunjukkan bahwa risiko investasi sebanding dengan keuntungan yang bisa diperoleh.
Pemerintah Indonesia bisa memainkan peran penting dengan kebijakan seperti tarif feed-in, yang menjamin harga jual listrik dari energi bersih ke jaringan. Meskipun membutuhkan dana pemerintah, manfaat jangka panjangnya adalah peningkatan daya beli masyarakat, yang pada gilirannya mendukung pertumbuhan ekonomi.
“Kolaborasi lintas disiplin akan menjadi kunci dalam menyelesaikan tantangan global di masa depan.” Ely Sandler – EndGame
Peran Perbankan dan Investasi Internasional
Sandler menekankan pentingnya sistem perbankan yang kuat untuk mendukung pembangunan ekonomi. Sistem perbankan yang baik dapat mengalihkan tabungan individu menjadi investasi produktif, yang menciptakan lebih banyak kredit dan aktivitas ekonomi. Di Indonesia, sistem perbankan masih perlu pengembangan, terutama dalam meningkatkan rasio aset perbankan terhadap PDB.
Selain itu, investasi asing langsung (FDI) juga krusial untuk mendukung proyek energi bersih di negara berkembang. Sandler berpendapat bahwa Indonesia dan negara-negara berkembang lainnya harus lebih aktif dalam mendekati lembaga investasi besar seperti BlackRock dan Vanguard, yang mungkin tertarik berinvestasi dalam proyek iklim.
Tantangan Investasi Proyek Hijau di Negara Berkembang
Salah satu hambatan utama bagi investor internasional di negara berkembang seperti Indonesia adalah kesulitan menemukan proyek yang layak. Sandler menjelaskan bahwa CEO perusahaan investasi besar seperti BlackRock mungkin kesulitan karena proyek yang ada belum dirancang untuk menarik modal internasional, terutama terkait dengan risiko kredit yang belum sepenuhnya dipahami.
Biaya transaksi tinggi—termasuk biaya perjalanan, penilaian risiko lapangan, dan pemahaman konteks lokal—menjadikan investasi di negara berkembang lebih rumit dibandingkan di negara maju seperti Texas. Untuk menarik lebih banyak modal internasional, Sandler mengusulkan penggabungan proyek besar, seperti yang diusulkan dalam kemitraan transisi energi yang adil atau Just Energy Transition Partnerships (JETP).
Inisiatif Global dan Dampaknya bagi Indonesia
Pada 2022, JETP mengumumkan investasi sebesar $20 miliar di Indonesia, dengan setengahnya berasal dari pendanaan komersial. Namun, Sandler mengingatkan bahwa pendanaan dengan suku bunga komersial bukanlah janji besar, karena ini setara dengan tingkat pasar biasa. Tantangan utama adalah menciptakan kebijakan domestik yang bisa menarik investasi dengan suku bunga pasar.
Sandler menekankan bahwa JETP tidak hanya soal pendanaan langsung, tetapi juga reformasi kebijakan untuk menciptakan lingkungan yang ramah investasi. Meski ada kritik bahwa ini hanya sekadar wacana, pentingnya “storytelling” atau narasi global adalah untuk menarik perhatian investor. Namun, untuk menarik lebih banyak investasi, dibutuhkan realisasi konkret, seperti aliran dana $10 miliar dan perubahan kebijakan yang memudahkan investasi.
Apa itu Artikel 6?
Sandler menyoroti Artikel 6 dari Perjanjian Paris, yang mendorong pendekatan kolaboratif antar negara untuk mengurangi emisi karbon. Artikel ini memungkinkan negara maju seperti Amerika Serikat untuk membantu negara berkembang seperti Indonesia mencapai target pengurangan emisi dengan berinvestasi dalam proyek energi hijau.
Menurut Sandler, investasi dalam proyek energi hijau di negara berkembang seperti Indonesia lebih efektif dalam mengurangi emisi dibandingkan di negara maju. Di AS, emisi sering berasal dari gas, sementara di Indonesia berasal dari batubara. Oleh karena itu, setiap ton karbon yang dikurangi di Indonesia memiliki dampak yang lebih besar.
Tantangan Implementasi Artikel 6
Meskipun Artikel 6 dari Perjanjian Paris terdengar menjanjikan, implementasinya berjalan lambat. Meskipun perjanjian ini ditandatangani pada 2015, hingga 2022, belum ada satu dolar pun dari pembiayaan Artikel 6 yang melintasi perbatasan negara. Hal ini disebabkan oleh kompleksitas dalam menciptakan sistem internasional untuk perdagangan kredit karbon. Salah satu masalah utama adalah ketidakcocokan waktu antara investasi dan pengurangan emisi.
Artikel 6 memungkinkan perusahaan atau negara membeli kredit karbon setelah proyek hijau selesai dan pengurangan emisi diverifikasi. Namun, untuk proyek besar seperti transisi energi di Indonesia, pendanaan harus ada sebelum proyek dimulai. Dengan kata lain, proyek besar memerlukan pendanaan di muka, bukan setelah pengurangan emisi terjadi.
“Keberhasilan bukan sekadar tentang hasil akhir, tetapi juga tentang proses dan pelajaran yang kita dapat di sepanjang jalan.” Gita Wirjawan – EndGame
Solusi: Pembiayaan di Muka
Sandler mengusulkan solusi inovatif dengan memanfaatkan kerangka Artikel 6 untuk memberikan pinjaman murah di muka kepada proyek energi hijau di negara berkembang. Ini akan memungkinkan proyek-proyek seperti ladang surya di Indonesia untuk mendapatkan pendanaan sebelum pengurangan emisi terjadi, dengan investor memberikan pinjaman berbunga rendah sejak awal, alih-alih menunggu kredit karbon setelah proyek selesai.
Solusi ini dapat mengatasi tantangan pembiayaan proyek energi hijau dan mempercepat transisi energi global. Percakapan antara Gita Wirjawan dan Eli Sandler menawarkan perspektif menarik tentang cara menangani perubahan iklim. Meskipun gagasan seorang “diktator baik hati” terdengar menggoda dalam krisis iklim yang mendesak, solusi jangka panjang membutuhkan pendekatan yang lebih kolaboratif dan beretika.
Dengan kombinasi kebijaksanaan manusia, pemahaman filosofis, dan kemajuan teknologi, kita dapat berharap menemukan solusi yang lebih adil dan berkelanjutan untuk menyelamatkan planet ini.