Obrolan menarik bersama Gita Wirjawan dan Ryu Hasan, dokter spesialis bedah saraf, menyingkap cerita unik seorang ahli bedah saraf yang memiliki latar belakang dan pengalaman hidup yang luar biasa. Namun, fokus pembicaraan tidak hanya pada kehidupan pribadi, tetapi juga membahas tentang kecerdasan emosional dan kebahagiaan dari perspektif neurosains.
Ryu Hasan lahir di keluarga santri dan memiliki kebutuhan khusus sebagai individu autis. Meskipun menghadapi kendala, Ryu Hasan mampu melewati perjalanan pendidikan dan menjadi ahli bedah saraf. Dalam ceritanya, kita melihat bagaimana kebutuhan khususnya menjadi pendorong kecerdasannya.
Ryu Hasan memiliki beragam hobi yang dimilikinya, terutama cinta pada membaca. Meskipun memiliki kecenderungan autis, membaca menjadi hobi utamanya yang memberikan kebahagiaan. Ia juga menyoroti pentingnya sikap dan keterampilan emosional dalam kehidupan sehari-hari, seperti mengatasi alergi yang serius.
Melaui buku Daniel Goleman membuka pandangan Ryu Hasan terhadap ilmu saraf dan emosi manusia. Goleman membahas bagaimana emosi dapat mempengaruhi keseharian kita dan bahkan memengaruhi kecerdasan kita secara keseluruhan.
“Tetapi secara individual, manusia kecerdasannya meningkat kalau dibandingkan misalkan 120 tahun yang lalu, tahun 1900, rata-rata manusia meninggal pada umur 47 tahun. Sekarang, usia harapan hidup manusia; 82 tahun. Kita sudah lebih cerdas dua kali lipat secara individual meskipun kecerdasan ini lebih dikarenakan kecerdasan komunitas, kecerdasan kumulatif, atau kecerdasan terdistribusi, atau kecerahan bergerombol.” – Ryu Hasan – End Game Podcast.
Gita Wirjawan dan Ryu Hasan sepakat bahwa membaca buku memiliki dampak positif terhadap kecerdasan dan kebahagiaan. Mereka menyoroti pentingnya membiasakan masyarakat membaca buku, karena hal ini dapat meningkatkan kebahagiaan dan kecerdasan kognitif.
Bagaimana kecerdasan emosional berperan dalam meningkatkan kualitas hidup? Ryu menjelaskan bahwa semakin cerdas secara emosional, semakin bahagia seseorang. Daniel Goleman menyoroti bahwa emosi seringkali dapat “membajak” rasionalitas kita, tetapi dengan meningkatkan kecerdasan emosional, kita dapat mencapai keseimbangan yang lebih baik.
Meskipun manusia awalnya dirancang untuk bersaing, akhirnya menemukan cara untuk bekerja sama. Keterlibatan narasi menjadi kunci dalam membangun kerjasama, bahkan ketika teknologi terus berkembang.
Sebagai individu manusia memiliki peluang untuk berkolaborasi lebih besar, manusia harus tetap fokus pada arah yang benar dan tidak menjauh dari kemungkinan sukses.
Dalam perkembangan revolusi kognitif pertama, kemampuan berbicara dan pengembangan bahasa memainkan peran kunci dalam membentuk masyarakat. Meskipun manusia dapat memiliki perasaan saling tidak menyukai, kemampuan untuk berkomunikasi mengubah dinamika kelompok.
Fiksi, meskipun tidak nyata, memiliki peran krusial dalam membentuk persepsi dan kolaborasi dalam kelompok. Dia menyoroti kesenjangan kognitif yang semakin melebar, terutama dalam era informasi di mana kesenjangan pengetahuan antar individu semakin besar.
Teknologi berperan dalam meningkatkan kecepatan inovasi, tetapi pada saat yang sama, meningkatkan polarisasi dan kesulitan untuk berkolaborasi. Pemahaman akan perubahan ini membawa kita ke pertanyaan, bagaimana kita dapat mengantisipasi dan berharap bahwa produktivitas akan tetap meningkat?
Manusia untuk menyukai dikotomi daripada spektrum. Ryu Hassan menekankan bahwa kehidupan sebenarnya adalah spektrum, dan konsep dikotomi seperti yang kita lihat dalam pemahaman dua jenis kelamin adalah konstruksi manusia. Realitas subjektif, objektif, dan intersubjektif semuanya berperan dalam membentuk pemahaman manusia tentang dunia.
Perbedaan nilai dan praktik antara masyarakat Jepang dan Indonesia, menekankan bahwa pilihan itu sendiri mempunyai konsekuensi. Gita Wirjawan menegaskan bahwa kita harus memahami dan menerima konsekuensi dari pilihan kita, dengan nilai hidup dan pandangan ke depan menjadi penentu utama.
Teknologi terkini yang memungkinkan stimulasi kembali neuron untuk tujuan terapi dan augmentasi. Keberhasilan teknologi ini dalam menyembuhkan penyakit Alzheimer, demensia, stroke, dan penyakit neurologis lainnya membawa kebahagiaan dan perubahan signifikan dalam kehidupan manusia.
Ketika berbicara tentang neurologi dan bedah saraf, Ryu Hassan menyoroti bahwa ini pada dasarnya adalah bagian dari kedokteran. Penggunaan obat sebagai teknologi, bukan hanya sains, menjadi solusi untuk keperluan manusia. Keberhasilan teknologi dan kecerdasan buatan telah mengurangi penderitaan manusia, seperti dalam kasus penyakit Parkinson atau pemakaian prostesis.
Termasuk Neuralink yang diusung oleh Elon Musk. Konsep komunikasi dua arah antara otak dan Neuralink membuka peluang untuk meningkatkan kecerdasan manusia secara signifikan. Kemungkinan memiliki pengalaman dan pengetahuan yang saling bertambah melalui teknologi ini menciptakan paradigma baru kehidupan.
Dalam sudut pandangnya sebagai ahli bedah saraf, Ryu Hassan menekankan pada kebahagiaan sebagai indikator utama. Indeks kebahagiaan dijadikan patokan untuk mengevaluasi keberhasilan suatu masyarakat. Meskipun evolusionis, Ryu Hassan menyatakan bahwa kebahagiaan mungkin memiliki dampak positif terhadap kelangsungan hidup manusia.
Kecerdasan Emosional dan Kebahagiaan
Kesadaran akan kesenjangan sosial, antara lain, menggarisbawahi perlunya kecerdasan emosional untuk menjaga keseimbangan dalam pilihan hidup manusia.
“Saya masih berprasangka bahwa mayoritas manusia itu eksistensialis. Bukan “extinctialist” karena biologi kita dirancang untuk seperti itu. Jadinya gini semangatnya, kalau mereka menyadari untuk mereka tetap bisa eksis dengan kesadaran bahwasanya gapnya semakin gede apakah itu kesenjangan dengan kesejahteraan, apakah itu antara hoax dengan fakta, antara yang kaya dengan yang miskin, dan bahwasanya teknologi ini semakin mengekspos manusia ke margin of error yang lebih besar, ini balik ke poin yang di awal tadi, bahwasanya kecerdasan emosional ini lebih dibutuhkan untuk menyatukan agar pilihan kita untuk kemanusiaan ini adalah yang anggaplah lebih bijaksana“ – Gita Wirjawan – End Game Podcast.
Kecerdasan emosional juga dikaitkan dengan kemampuan membuat pilihan bijak, terutama dalam konteks kemanusiaan. Menjadi bijak bukan hanya tentang kecerdasan rasional, tetapi juga mengenai bagaimana kita mengelola emosi agar keputusan yang diambil lebih seimbang dan mempertimbangkan kebaikan bersama.
Penting untuk menyadari bahwa manusia adalah bagian integral dari lingkungan alam. Dalam konteks ini, “melindungi alam” bukanlah tujuan bumi itu sendiri, tetapi suatu upaya untuk menciptakan lingkungan yang ramah bagi keberlanjutan manusia. Ryu Hassan menegaskan bahwa sifat alami kita sebagai manusia adalah memanfaatkan teknologi dan kecerdasan untuk membentuk lingkungan sesuai keinginan kita.
Pemahaman akan keseimbangan biologi, kimia, dan fisika dalam tubuh manusia membawa kita pada kesadaran bahwa tubuh kita adalah produk alam yang tunduk pada hukum alam. Konsep ini melibatkan pengetahuan eksistensialisme yang mendasari pemikiran Plato, yaitu bahwa tubuh kita adalah entitas yang terdiri dari bahan-bahan alami dan teratur sesuai dengan hukum alam.
Ryu Hassan juga membahas dampak teknologi, terutama di era media sosial, terhadap kesejahteraan mental dan emosional manusia. Perubahan iklim politik dan pandemi informasi adalah tantangan yang dihadapi manusia modern, dan kecerdasan emosional menjadi kunci untuk mengatasi hal tersebut.
Dalam konteks ini, artikel menyoroti pentingnya kerjasama antara kecerdasan buatan (AI) dan otak manusia. Meskipun AI memiliki keunggulan dalam akurasi dan kecepatan perhitungan, manusia tetap unggul dalam kebijaksanaan. Kerjasama keduanya diharapkan dapat menciptakan solusi yang lebih baik untuk tantangan kompleks, seperti perubahan iklim dan ketidakseimbangan politik.