Gita Wirjawan, dalam sebuah diskusi mendalam tentang geopolitik dan pembangunan berkelanjutan, mengungkapkan pandangannya mengenai dinamika dunia saat ini. Berikut adalah ringkasan dari pandangan beliau yang dapat membantu kita memahami tantangan yang dihadapi dalam menciptakan dunia yang lebih berkelanjutan.
Perubahan Geopolitik: Dari Unipolar ke Multipolar
Gita memulai diskusi dengan menggarisbawahi pergeseran besar dalam struktur geopolitik global. Pada masa lalu, dunia cenderung unipolar, di mana hanya ada satu kekuatan dominan yang mempengaruhi kebijakan global. Namun, saat ini, dunia telah berkembang menjadi lebih multipolar, di mana berbagai negara, termasuk India, Rusia, Indonesia, Meksiko, Turki, dan Nigeria, memainkan peran yang semakin besar dalam menentukan arah global.
Tantangan Multilateralisme di Dunia Multipolar
Salah satu paradoks yang dihadapi dalam dunia multipolar adalah kemunduran multilateralisme. Gita mencatat, berdasarkan pengalamannya sebagai Menteri Perdagangan, bahwa dalam dunia yang lebih multipolar, upaya untuk menerapkan multilateralisme—yaitu kerja sama internasional dalam menyelesaikan masalah global—menjadi semakin sulit. Ironisnya, multilateralisme lebih mudah diterapkan di dunia unipolar, di mana ada satu kekuatan dominan yang dapat memimpin dan memfasilitasi kerja sama internasional.
Paradoks dalam Pembangunan Berkelanjutan
Gita menyebutkan bahwa kita sekarang menghadapi beberapa paradoks dalam upaya menuju pembangunan berkelanjutan. Salah satunya adalah kesulitan dalam mencapai konsensus global yang efektif karena beragam kepentingan yang ada di dunia multipolar. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun banyak negara sekarang memiliki kekuatan lebih besar, menciptakan solusi bersama yang berkelanjutan tetap menjadi tantangan besar.
Internet: Awal yang Optimis
Sejak internet mulai dikenal luas pada awal 1990-an, banyak orang optimis bahwa teknologi ini akan mendemokratisasi informasi dan gagasan. Harapan ini mencakup anggapan bahwa semua orang di dunia akan memiliki akses yang setara terhadap informasi dan ide, yang seharusnya membawa manfaat besar bagi masyarakat global.
Ketimpangan dalam Demokratisasi Gagasan
Namun, Gita Wirjawan mengamati bahwa perbedaan antara demokratisasi informasi dan gagasan semakin tajam dalam beberapa dekade terakhir. Meskipun informasi tersedia lebih banyak, percakapan global justru semakin terpolarisasi. Kesenjangan pemahaman antara kelompok-kelompok yang berbeda—misalnya, antara pihak kiri dan kanan dalam spektrum politik—menjadi lebih lebar. Hal ini membuatnya sangat sulit bagi orang-orang dari sisi politik yang berbeda untuk saling memahami.
Polarisasi dan Ketidaksetaraan
Gita menunjukkan bahwa polarisasi ini mencerminkan ketidaksetaraan yang lebih luas yang terlihat dalam masyarakat. Contoh nyata adalah ketidaksetaraan ekonomi, yang sering diukur dengan koefisien Gini, yang menunjukkan perbedaan pendapatan antara kelompok yang kaya dan miskin. Ketimpangan ini, menurut Gita, juga mencerminkan ketimpangan dalam akses dan pemahaman informasi.
Paradoks dalam Dunia Digital
Gita menyoroti paradoks besar di era digital: meskipun internet menawarkan potensi untuk meningkatkan akses informasi, kenyataannya seringkali memperburuk perpecahan sosial dan politik. Hal ini menunjukkan bahwa teknologi tidak selalu memecahkan masalah ketidaksetaraan seperti yang diharapkan, melainkan bisa memperburuknya jika tidak dikelola dengan baik.
Elitisme dalam Isu Keberlanjutan
Gita Wirjawan menjelaskan bahwa meskipun banyak ahli di bidang keberlanjutan optimis bahwa target ambisius dapat dicapai pada tahun 2050, pandangan ini seringkali hanya diterima oleh sebagian kecil populasi global. Sementara hanya 15% hingga 20% dari populasi dunia yang mungkin dapat memenuhi standar tersebut, 80% hingga 85% masih menghadapi masalah mendasar seperti penyediaan makanan dan akses energi.
Ketidaksetaraan dalam Akses Energi
Gita menyoroti ketidaksetaraan signifikan dalam akses energi di negara-negara seperti India dan Indonesia. Dengan pasokan listrik per kapita yang hanya sekitar 1.300 kilowatt-jam, negara-negara ini menghadapi tantangan besar dalam memenuhi kebutuhan energi modern. Definisi modernitas dalam konteks energi sering kali mengacu pada konsumsi listrik antara 5.000 hingga 6.000 kilowatt-jam per kapita. Namun, lembaga multilateral sering kali menggunakan angka yang jauh lebih rendah, seperti 1.000 kilowatt-jam, untuk mengukur modernitas.
Tantangan Jangka Panjang untuk Pencapaian Energi
Gita mengungkapkan kekhawatiran bahwa, dengan tingkat produksi energi saat ini, negara-negara seperti India dan Indonesia mungkin membutuhkan waktu antara 90 hingga 100 tahun untuk mencapai tingkat konsumsi listrik 6.000 kilowatt-jam per kapita. Di negara-negara seperti Nigeria, yang hanya memiliki 65 kilowatt-jam per kapita, waktu yang dibutuhkan bisa mencapai 200 hingga 250 tahun. Hal ini menunjukkan bahwa pencapaian target netralitas karbon pada tahun 2050 mungkin tidak realistis untuk sebagian besar populasi dunia.
Pentingnya Pendekatan Terbuka
Gita menekankan perlunya pendekatan yang lebih terbuka dan realistis dalam merangkul keberlanjutan dan pembangunan. Dia menggarisbawahi pentingnya memperbaiki ketidaksesuaian antara narasi keberlanjutan dan kebutuhan pembangunan, dengan memahami apa yang diperlukan baik dari sisi permintaan maupun pasokan.
Kinerja Ekonomi Asia Tenggara
Asia Tenggara, yang terdiri dari 10 negara dengan ekonomi yang bervariasi, termasuk monarki dan negara demokrasi, memiliki nilai ekonomi sekitar $4 triliun dan populasi sekitar 700 juta orang. Meskipun kawasan ini menunjukkan keinginan kolektif untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup, pertumbuhannya masih jauh tertinggal dibandingkan dengan Tiongkok.
Dalam 30 tahun terakhir, PDB per kapita Asia Tenggara tumbuh sekitar 2,7 kali lipat, jauh di bawah pertumbuhan 10 kali lipat yang dicapai oleh Tiongkok. Gita mengidentifikasi empat alasan utama mengapa kinerja Asia Tenggara kalah saing dibandingkan dengan Tiongkok:
1. Investasi Infrastruktur yang Rendah
Investasi infrastruktur di Asia Tenggara jauh tertinggal dibandingkan dengan Tiongkok. Pembangunan infrastruktur yang terbatas menghambat pertumbuhan ekonomi dan memperlambat perkembangan kawasan.
2. Kurangnya Investasi dalam Pendidikan
Kualitas pendidikan di Asia Tenggara juga menjadi masalah. Meskipun Singapura dan Vietnam menunjukkan pencapaian yang baik, sebagian besar negara di kawasan ini berada di bawah rata-rata global dalam penilaian PISA. Ini berpengaruh pada kompetensi tenaga kerja dan kemampuan inovasi.
3. Tata Kelola yang Buruk
Tata kelola yang buruk, termasuk preferensi terhadap patronase daripada meritokrasi, menghambat pemanfaatan potensi talenta secara efektif. Meskipun beberapa negara Asia Tenggara, seperti Singapura, menunjukkan sistem tata kelola yang baik, banyak negara lain menghadapi tantangan besar dalam hal ini.
4. Rendahnya Tingkat Persaingan
Asia Tenggara memiliki tingkat persaingan kewirausahaan yang rendah dibandingkan dengan Tiongkok. Rata-rata jumlah izin usaha yang diterbitkan di kawasan ini jauh di bawah angka di Tiongkok dan Singapura. Hal ini disebabkan oleh kekurangan uang beredar, beban utang birokrasi, dan budaya yang kurang berani mengambil risiko.
Tantangan Energi dan Keberlanjutan
Gita juga menyoroti tantangan terkait keberlanjutan dan energi. Negara-negara seperti Indonesia dan India menghadapi kesulitan besar dalam memenuhi kebutuhan energi modern. Dengan tingkat konsumsi listrik per kapita yang rendah, pencapaian target netralitas karbon pada tahun 2050 tampaknya tidak realistis untuk sebagian besar populasi dunia.
Solusi dan Harapan
Gita mengajak untuk mempertimbangkan solusi yang lebih realistis dan inklusif dalam merangkul keberlanjutan. Dia menekankan perlunya pendekatan terbuka untuk mendamaikan kebutuhan pembangunan dengan narasi keberlanjutan.
Tantangan Elektrifikasi di Asia Tenggara
Asia Tenggara menghadapi tantangan besar dalam elektrifikasi dan keberlanjutan. Misalnya, Indonesia memiliki kapasitas pembangkit listrik sekitar 1.300 kilowatt-jam per kapita, jauh di bawah Singapura yang mencapai 10.000 kilowatt-jam, dan Malaysia yang berada pada angka 5.000 kilowatt-jam. Hal ini menunjukkan ketimpangan besar dalam akses dan kualitas energi antara negara-negara di kawasan ini.
Elitisme dalam Narasi Keberlanjutan
Gita mengkritik elitisme dalam narasi keberlanjutan. Ia mencontohkan perbedaan jumlah pengikut antara Kylie Jenner dan Greta Thunberg untuk menunjukkan ketidaksesuaian perhatian global terhadap isu keberlanjutan. Dengan 399 juta pengikut Kylie Jenner dibandingkan dengan 15 juta pengikut Greta Thunberg, Gita mengindikasikan bahwa perhatian dunia terhadap pengurangan emisi karbon mungkin tidak cukup kuat.
Permintaan dan Penawaran dalam Keberlanjutan
Dalam pandangan Gita, keberlanjutan harus ditangani dari sisi permintaan dan penawaran. Meskipun ada berbagai teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya, angin, dan nuklir, biaya tetap menjadi faktor kunci. Gita menekankan bahwa untuk mencapai keberlanjutan secara ekonomi, biaya energi harus diturunkan menjadi tidak lebih dari lima sen per kilowatt-jam. Namun, saat ini, biaya produksi energi terbarukan masih jauh lebih tinggi, dengan biaya minimal sekitar 13 sen per kilowatt-jam untuk panas bumi dan 20 sen untuk tenaga surya, angin, dan nuklir.
Keterbatasan Fiskal dan Moneter di Asia Tenggara
Gita juga menyoroti keterbatasan fiskal dan moneter di Asia Tenggara. Negara-negara di kawasan ini memiliki rasio pajak yang rendah, kurang dari 20%, dibandingkan dengan negara-negara OECD yang rata-rata memiliki rasio pajak sekitar 33%. Selain itu, rasio uang beredar terhadap PDB juga rendah, kurang dari 100%, yang membatasi ruang fiskal dan moneter untuk investasi dalam keberlanjutan.
Peran Negara Maju dalam Pendanaan dan Teknologi
Negara-negara maju, dengan likuiditas lebih dari $100 triliun, memiliki potensi untuk mendukung negara berkembang dalam hal teknologi dan pendanaan. Namun, ada dua masalah utama: tanggung jawab fidusia kepada pemilik modal yang harus diwujudkan secara bertanggung jawab, dan kebutuhan negara penerima untuk mencari cara untuk membayar teknologi yang dibutuhkan.
Mencapai Netralitas Karbon: Perspektif Gita
Gita mengajak untuk berpikir terbuka tentang solusi keberlanjutan, termasuk teknologi yang kontroversial seperti nuklir. Ia percaya bahwa dengan keterbukaan pikiran dan kerja sama internasional, kita dapat menemukan solusi yang layak secara ekonomi dan teknologi untuk mencapai netralitas karbon.
Perbedaan Etos Kerja di Asia Tenggara
Gita Wirjawan menyoroti perbedaan signifikan dalam etos kerja antara negara-negara seperti Indonesia, Vietnam, dan China. Ia mencatat bahwa etos kerja dan ambisi yang tercermin dalam pendidikan dan kewirausahaan sangat berbeda di masing-masing negara. Gita menganggap bahwa kepemimpinan dan contoh yang baik dapat berperan besar dalam meningkatkan etos kerja di Indonesia.
“Tindakan kepemimpinan sering kali muncul secara kebetulan. Negara mana pun, dengan segala keadaan yang ada, memiliki peluang besar untuk menghasilkan etos kerja yang baik, terlepas dari etnis atau atribut lainnya yang mungkin mempengaruhi pembentukannya.” Gita Wirjawan – Endgame
Kepemimpinan Sebagai Contoh
Menurut Gita, kepemimpinan yang baik adalah kunci untuk memperbaiki etos kerja. Ia memberikan contoh sederhana: jika seseorang bangun pagi dan mulai bekerja keras, orang lain di sekitarnya akan terinspirasi untuk mengikuti. Kepemimpinan yang memberikan teladan positif dapat membentuk budaya kerja yang lebih baik.
Kesenjangan dalam Perekrutan dan Penerimaan
Gita juga berbagi pengalaman pribadinya terkait kesenjangan dalam perekrutan. Ia mencatat bahwa dalam mencari kandidat senior, ada lebih banyak lamaran dari Vietnam dibandingkan Indonesia. Dalam kasusnya, meskipun ada kandidat dengan kemampuan kognitif yang setara, pekerjaan diberikan kepada kandidat dari Singapura. Ini menunjukkan persepsi bahwa Singapura memiliki standar lebih tinggi dalam hal profesionalisme dan etos kerja.
Meniru Kesuksesan Singapura dan Vietnam
Gita menganjurkan agar negara-negara di Asia Tenggara meniru praktik baik yang telah dilakukan oleh Singapura dan Vietnam. Ia percaya bahwa Indonesia dan negara lain di kawasan ini dapat belajar dari kesuksesan negara-negara tersebut dan memperbaiki etos kerja mereka. Meniru pendekatan yang telah terbukti sukses di negara-negara tetangga dapat memberikan dorongan positif bagi pengembangan etos kerja yang lebih baik.
Kritik Terhadap Pendekatan Modern
Gita juga mengkritik pendekatan modern terhadap pembangunan berkelanjutan yang dianggap tidak sepenuhnya efektif. Ia menekankan pentingnya membangun budaya kerja yang kuat sebagai fondasi untuk mencapai tujuan keberlanjutan yang lebih baik. Menurutnya, keberlanjutan tidak hanya bergantung pada teknologi dan kebijakan, tetapi juga pada sikap dan dedikasi individu dalam setiap lapisan masyarakat.
Peluang Ekonomi dan Dampak Lingkungan dari Pertambangan Nikel
Indonesia merupakan produsen nikel terbesar di dunia, menyuplai sekitar 33% dari produksi global. Ini memberikan peluang ekonomi besar bagi negara, terutama dengan meningkatnya minat perusahaan kendaraan listrik seperti Tesla untuk berinvestasi di Indonesia. Namun, pertambangan nikel juga memiliki dampak lingkungan yang signifikan, termasuk polusi, kerusakan ekosistem, dan gangguan terhadap komunitas adat.
Akuntansi Total dalam Keberlanjutan
Gita Wirjawan menekankan pentingnya melihat keberlanjutan dari perspektif “akuntansi total.” Ia menjelaskan bahwa meskipun kendaraan listrik tidak mengeluarkan karbon saat digunakan, proses produksi dan pembuangan baterai juga harus diperhitungkan. Banyak diskusi tentang keberlanjutan tidak mempertimbangkan dampak penuh dari proses ini, yang sering kali menyebabkan hasil yang kurang memuaskan dalam hal kelestarian lingkungan.
Perubahan Permintaan Energi dan Fokus Masa Depan
Gita mengarahkan perhatian pada laporan terbaru dari Woodson-McKenzie yang menunjukkan bahwa permintaan fosil tidak akan mengalami lonjakan besar dalam beberapa dekade ke depan, meskipun ada peningkatan permintaan dari sektor otomotif dan petrokimia. Kendaraan listrik, yang menggunakan bahan-bahan petrokimia, berkontribusi pada permintaan fosil meskipun mereka lebih ramah lingkungan dibandingkan kendaraan konvensional.
Gita juga mencatat bahwa diskusi global mengenai baterai kendaraan listrik mulai beralih dari nikel ke bahan alternatif seperti natrium dan hidrogen. Ini menunjukkan bahwa relevansi nikel mungkin akan menurun dalam waktu dekat, dan fokus mungkin akan bergeser ke solusi yang lebih berkelanjutan seperti hidrogen, yang Toyota anggap sebagai alternatif non-emisi karbon.
Menghadapi Tantangan Keberlanjutan di Indonesia
Menurut Gita, penting bagi masyarakat dan pembuat kebijakan di Indonesia untuk memperluas diskusi mengenai keberlanjutan dengan mempertimbangkan akuntansi total. Ini termasuk memahami dampak lingkungan dari setiap tahap produksi dan penggunaan, serta mengevaluasi alternatif yang lebih berkelanjutan.
Dengan mengadopsi pendekatan ini, Indonesia dapat lebih baik menyeimbangkan antara memanfaatkan peluang ekonomi dari industri nikel dan menjaga kelestarian lingkungan untuk masa depan. Pendekatan ini juga dapat membantu negara dalam menghadapi tantangan global terkait perubahan iklim dan keberlanjutan energi.
Tantangan Pajak Karbon di Asia Tenggara
Dalam diskusi, Gita Wirjawan mengungkapkan tantangan utama yang dihadapi oleh negara-negara Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dalam mengimplementasikan pajak karbon. Rasio pajak yang relatif rendah di kawasan ini—sekitar 9% di Indonesia—menjadi hambatan besar dalam upaya untuk mengenakan pajak pada emisi karbon. Menurut Gita, sistem perpajakan yang ada saat ini tidak cukup mendukung untuk memfasilitasi transisi menuju netralitas karbon.
Reformasi Pajak dan Dampaknya
Gita menekankan bahwa reformasi pajak, terutama dalam hal pajak lingkungan dan pajak penghasilan, penting untuk menyeimbangkan anggaran pemerintah. Namun, ia skeptis tentang efektivitas pajak karbon dalam jangka pendek. Menurutnya, reformasi perpajakan harus diiringi dengan langkah-langkah lain untuk mengoptimalkan pengumpulan pajak dan memanfaatkan ruang fiskal yang terbatas.
Gita juga mencatat bahwa beban utang pemerintah yang meningkat, yang telah melonjak dari 6% menjadi 15% atau 16% dari anggaran, mengurangi kemampuan pemerintah untuk berinvestasi dalam pembangunan infrastruktur dan subsidi energi. Hal ini menunjukkan adanya permainan “zero-sum,” di mana setiap tambahan anggaran untuk membayar utang mengurangi anggaran untuk kebutuhan lain.
Peran Teknologi dalam Mencapai Netralitas Karbon
Gita lebih optimis terhadap peran teknologi dibandingkan kebijakan dalam mencapai target netralitas karbon pada tahun 2050. Ia percaya bahwa inovasi teknologi dapat memberikan solusi yang lebih efektif untuk dekarbonisasi dibandingkan dengan perubahan kebijakan yang sering kali menghadapi berbagai kendala implementasi.
Gita menyarankan bahwa negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, dapat mencapai kemajuan signifikan dalam hal keberlanjutan dengan memanfaatkan teknologi canggih. Teknologi ini dapat membantu negara-negara tersebut untuk mengurangi emisi karbon secara efektif, meskipun kebijakan pajak karbon belum sepenuhnya diimplementasikan.
Kritik terhadap Kemampuan Tata Kelola Pajak
Gita juga menyoroti tantangan dalam tata kelola pajak di Asia Tenggara. Dia mencatat bahwa banyak negara di kawasan ini belum memiliki efisiensi yang cukup dalam pengumpulan pajak, yang sering kali disebabkan oleh kurangnya kemampuan tata kelola dan pengumpulan pajak yang efisien. Dia menganggap bahwa perbaikan dalam tata kelola dan meritokrasi dalam pemilihan pejabat kabinet dapat meningkatkan efisiensi ini.
Tantangan Multilateralisme di Asia Tenggara
Althea, seorang mahasiswa yang mempelajari pemerintahan dan Asia Timur, mengajukan pertanyaan mengenai elektrifikasi sebagai bentuk modernitas di Asia Tenggara. Dia menyoroti jaringan listrik yang diusulkan oleh ASEAN pada awal tahun 2000-an dan bertanya bagaimana Gita melihat perkembangan ini, terutama mengingat kesulitan multilateralisme dan elitisme dalam keberlanjutan.
Gita menanggapi dengan menyatakan bahwa multilateralisme menghadapi tantangan besar dan sedang menurun. Namun, keindahan ASEAN terletak pada keberagaman budaya dan ekonomi yang membuat kawasan ini lebih kohesif dibandingkan dengan kawasan lain. Meskipun ASEAN tidak tergabung dalam serikat fiskal atau moneter seperti Eropa, Gita menyebut bahwa pertemuan rutin di ASEAN membantu pemahaman budaya dan ekonomi antarnegara anggota.