Asia Tenggara terus menjadi kawasan yang menarik bagi investor global. Dalam wawancara di acara Endgame #198, Gita Wirjawan berbincang dengan Satvinder Singh, Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN yang saat ini bertanggung jawab atas Komunitas Ekonomi ASEAN (AEC). Dalam percakapan ini, Satvinder berbagi pandangan tentang kawasan ini, perjalanan kariernya, dan pentingnya pendidikan di Singapore yang membentuk pandangannya terhadap ekonomi global. Berikut adalah ringkasan wawancara tersebut yang dapat memberikan wawasan bagi mereka yang tertarik dengan potensi investasi di Asia Tenggara.
Latar Belakang Satvinder Singh
Satvinder Singh berasal dari keluarga sederhana di Singapura, dengan orang tua imigran India. Tumbuh dalam lingkungan yang mengutamakan kerja keras dan pendidikan, ia merasa beruntung menjadi produk sistem pendidikan Singapura yang menekankan kesempatan setara. Setelah lulus universitas, Satvinder memulai karier di pemerintahan, lalu bekerja di New York sebagai Direktur Pusat untuk wilayah Amerika Utara pada usia 28 tahun.
Dengan lebih dari 30 tahun pengalaman di perdagangan dan investasi, Satvinder kini menjabat Wakil Sekretaris Jenderal ASEAN, berfokus pada sektor ekonomi, digitalisasi, pertanian, transportasi, dan keuangan. Ia menekankan peran penting sektor swasta dalam perkembangan ASEAN.
Pendidikan adalah fondasi kesuksesan dalam keluarganya. Meskipun orang tuanya tidak berpendidikan formal, mereka sangat mendukung pendidikan anak-anak mereka. Satvinder memilih jurusan humaniora meski keluarganya berharap ia memilih bidang lebih praktis. Ayahnya mendukung pilihannya, percaya bahwa passion akan mengarah pada karier sukses, meski tidak selalu menguntungkan secara finansial di awal.
Perkembangan Ekonomi ASEAN: Peluang dan Tantangan
Dalam 30 tahun terakhir, GDP per kapita Asia Tenggara tumbuh 2,7 kali lipat, meskipun masih jauh dari laju pertumbuhan China yang mencapai 10 kali lipat. Faktor-faktor seperti kurangnya investasi di pendidikan, infrastruktur, dan daya saing menjadi penyebabnya. Namun, Singapura tetap menjadi contoh keberhasilan dalam kawasan ini.
Menurut Singh, meskipun ada perbedaan perkembangan antara negara maju dan kurang berkembang di ASEAN, tujuan bersama yang menyatukan mereka adalah pertumbuhan ekonomi. ASEAN percaya bahwa pertumbuhan dan kemakmuran untuk seluruh masyarakat adalah kunci masa depan yang lebih baik.
Singh juga mencatat bahwa ASEAN memiliki keunggulan dalam keseimbangan sosial-politik, yang memungkinkan keputusan lebih kohesif di tingkat nasional dan regional, berbeda dengan ekstremisme politik yang sering terjadi di kawasan lain.
Mengapa ASEAN Kurang Dikenal Dibandingkan Negara-Negara Besar Lainnya?
Meskipun ASEAN merupakan salah satu kawasan dengan pertumbuhan tercepat di dunia, kawasan ini seringkali kurang mendapat perhatian dibandingkan negara besar seperti China dan India. Populasi ASEAN yang hampir 700 juta orang lebih besar dari beberapa negara besar lainnya, namun pembicaraan global lebih sering fokus pada negara-negara seperti India, China, Taiwan, atau Jepang.
Singh menjelaskan bahwa kurangnya perhatian terhadap ASEAN disebabkan oleh keberagaman ekonomi dan budaya di 10 negara anggotanya. Berbeda dengan Uni Eropa yang merupakan blok perdagangan dan finansial terstruktur, ASEAN bukanlah serikat pabean atau keuangan. Meski begitu, ASEAN tetap menjalin kesepakatan ekonomi dengan negara-negara luar kawasan.
Perbedaan dan Integrasi: Formula ASEAN yang Unik
Salah satu kekuatan utama ASEAN adalah kemampuannya menjaga kesetaraan antara anggotanya. Meskipun ada perbedaan besar dalam ukuran ekonomi, seperti antara Singapura dan Indonesia, keputusan-keputusan ekonomi di ASEAN selalu dibuat berdasarkan konsensus. Pendekatan ini memastikan keputusan yang inklusif dan menguntungkan seluruh kawasan.
Meski proses pengambilan keputusan bisa lebih lambat karena konsensus yang dibutuhkan, pendekatan ini terbukti efektif dalam menciptakan kesatuan dan relevansi bagi semua negara anggota. Ke depan, ASEAN diharapkan menjadi model bagi kawasan lain dalam mencapai pertumbuhan dan kemakmuran bersama.
Perdagangan Intra-ASEAN
Perdagangan intra-ASEAN saat ini masih di bawah sepertiga dari total GDP kawasan, jauh lebih rendah dibandingkan dengan Uni Eropa yang mencapai 55-60%. Sementara NAFTA mencatatkan angka sekitar 33%. Meskipun ASEAN menjadi eksportir besar dengan total perdagangan sekitar 3,5 triliun USD, sebagian besar perdagangan ini terjadi dengan negara di luar kawasan, seperti China dan negara besar lainnya.
Menurut Singh, untuk meningkatkan perdagangan intra-kawasan, ASEAN perlu lebih terintegrasi. Meskipun ada pertumbuhan perdagangan antarnegara anggota, perdagangan global masih mendominasi.
FDI dan Pertumbuhan Ekonomi
Singh mencatat bahwa meskipun ASEAN menerima lebih banyak FDI daripada China, kawasan ini tidak perlu bersaing langsung dengan China. Banyak perusahaan global dan negara besar, termasuk China, kini mulai berinvestasi lebih dalam di ASEAN dengan strategi “China plus one” atau “China plus two” untuk diversifikasi risiko.
Peningkatan FDI ini didorong oleh kesadaran akan pentingnya keberlanjutan dan dekarbonisasi. Banyak perusahaan kini fokus pada pengurangan jejak karbon dan rantai pasokan ramah lingkungan. ASEAN, dengan kebijakan mendukung keberlanjutan, berpotensi besar menarik lebih banyak investasi global.
ASEAN dan Strategi Keberlanjutan
ASEAN telah mengadopsi strategi menuju netralitas karbon, dengan Indonesia memimpin inisiatif ini saat menjadi ketua. Salah satu langkah penting adalah memperbarui perjanjian perdagangan ASEAN untuk memastikan produk di pasar mendukung ekonomi sirkular. Kebijakan ini bertujuan menarik perusahaan yang mencari rantai pasokan global yang lebih berkelanjutan, menjadikan ASEAN pusat manufaktur ramah lingkungan.
Menurut Singh, ASEAN berpotensi melampaui jalur pertumbuhan tradisionalnya. Dengan demografi yang berkembang, peningkatan konsumsi, dan standar hidup yang naik, kawasan ini semakin menarik bagi investor global. Populasi besar yang bergerak menuju kelas menengah membuka peluang bagi perusahaan untuk memperluas pasar.
Singh menambahkan, solidaritas di antara negara-negara ASEAN dengan tujuan ekonomi yang sama menjadi kunci keberhasilan jangka panjang. Dalam 10-30 tahun, ASEAN berpotensi melampaui laju pertumbuhan ekonomi China yang kini melambat.
“Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP) bukan hanya soal penghematan tarif. Ini jauh lebih besar dari itu; ini tentang komitmen prosedur perdagangan.” Gita Wirjawan – EndGame
Tantangan Produktivitas di Asia Tenggara
Singh menyoroti tantangan utama Asia Tenggara: produktivitas yang rendah. Meski Singapura menunjukkan pencapaian tinggi, sebagian besar negara di kawasan ini masih di bawah rata-rata global. Untuk bersaing di pasar global, peningkatan produktivitas diperlukan. Singapura berhasil menempati peringkat pertama PISA, sementara negara seperti Indonesia, Filipina, Malaysia, dan Thailand tertinggal dalam pendidikan dasar dan vokasional.
Singh menekankan bahwa peningkatan kualitas pendidikan, termasuk keterampilan tenaga kerja, adalah kunci untuk mengatasi kesenjangan produktivitas dan memungkinkan Asia Tenggara tumbuh lebih cepat serta bersaing dengan ekonomi besar seperti China.
Tantangan Energi dan Keberlanjutan
Tantangan lain bagi Asia Tenggara adalah meningkatnya kebutuhan energi seiring pertumbuhan ekonomi, sementara pasokan masih terbatas. Negara seperti Singapura dan Brunei memiliki elektrifikasi tinggi, tetapi sebagian besar kawasan, termasuk Indonesia, masih jauh di bawah standar global. Untuk memenuhi permintaan, diperlukan investasi besar dalam pembangkit listrik, namun rendahnya investasi asing dan lambatnya pembangunan membuat negara seperti Indonesia diperkirakan butuh lebih dari 100 tahun untuk mencapai kemodernan.
Masalah keberlanjutan energi juga penting. Meski energi terbarukan seperti surya dan angin mulai berkembang, mereka belum cukup untuk memenuhi kebutuhan. Singh menekankan perlunya teknologi carbon capture untuk mengurangi emisi dari pembangkit berbahan bakar fosil sebagai bagian dari upaya mencapai netralitas karbon.
Asia Tenggara membutuhkan pembangunan besar-besaran pembangkit listrik, dengan kebutuhan sekitar 1 terawatt untuk memenuhi permintaan energi masa depan. Namun, kurangnya minat investasi dari sektor swasta dapat menghambat upaya ini.
Singh menekankan bahwa meskipun energi terbarukan penting, sumber fosil akan tetap dominan dalam waktu dekat. Oleh karena itu, selain fokus pada energi terbarukan, pengembangan teknologi carbon capture diperlukan untuk mengurangi emisi dari pembangkit berbahan bakar fosil.
“Tahun 2024 adalah tahun yang sangat penting bagi ASEAN karena kita akan mengevaluasi kemajuan kita dan bekerja pada rencana ASEAN 2045.” Satvinder Singh – EndGame
RCEP: Lebih Dari Sekadar Penghematan Tarif
Satvinder Singh, mantan Wakil Sekretaris Jenderal AEC, menegaskan bahwa RCEP tidak hanya soal penghematan tarif, tetapi juga mencakup komitmen penting terkait prosedur perdagangan. Kesepakatan ini melibatkan negara seperti Jepang, Korea Selatan, China, Australia, dan Selandia Baru, dengan pintu tetap terbuka bagi India meskipun belum bergabung. Ini menunjukkan upaya ASEAN dan mitranya untuk membangun kerangka kerja yang inklusif dan saling menguntungkan.
India memiliki peran strategis dalam potensi investasi di Asia Tenggara, terutama dalam pasokan komponen elektronik dan industri global. Meski belum terintegrasi dengan RCEP, ASEAN melihat India sebagai mitra kunci. Dengan kawasan yang akan memasuki era kelas menengah yang lebih besar dalam dua dekade ke depan, Asia Tenggara menjadi pasar menarik bagi eksportir global, termasuk India. ASEAN berharap dapat memperkuat kerjasama dengan India dan mendorongnya untuk bergabung kembali dengan RCEP di masa mendatang.
Integrasi Ekonomi dan Transisi Energi
Selain perdagangan, ASEAN juga memfokuskan perhatian pada transisi energi dan digitalisasi sebagai bagian dari strategi pembangunan jangka panjang. Inisiatif seperti Blueprint ASEAN 2025 dan Rencana Aksi Ekonomi Digital menunjukkan komitmen kuat untuk mendorong transformasi digital di kawasan ini. Dengan semakin banyaknya negara yang terlibat dalam perdagangan digital dan pembayaran lintas batas, Asia Tenggara siap menjadi pemimpin dalam era digitalisasi global.
Di sisi lain, transisi energi dan keberlanjutan juga menjadi prioritas. Negara-negara ASEAN saat ini sedang mengembangkan kebijakan untuk mendukung ekonomi biru (blue economy) dan mempercepat langkah-langkah dekarbonisasi, yang sangat penting bagi masa depan kawasan ini.
Membangun Masa Depan ASEAN: Proyeksi hingga 2045
Tahun 2024 menjadi momen penting bagi ASEAN untuk menentukan strategi jangka panjang. Rencana strategis 2015-2025 akan segera berakhir, dan negara-negara anggota kini merancang visi ASEAN 2045 yang berfokus pada pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Meskipun pandemi COVID-19 membawa tantangan, ASEAN telah menunjukkan ketangguhan dengan mempercepat digitalisasi dan memperkuat kerjasama regional.
Satvinder menyatakan bahwa ASEAN berada di jalur yang tepat untuk memperkuat perannya di panggung global, dengan komitmen kuat terhadap keberlanjutan, digitalisasi, dan integrasi ekonomi. Potensi besar kawasan ini, terutama di bidang perdagangan, digitalisasi, dan keberlanjutan, menjadikannya pusat perhatian dunia. RCEP dan integrasi ekonomi yang lebih dalam memperkuat posisi ASEAN sebagai kekuatan ekonomi global.
Dengan visi ASEAN 2045, kawasan ini berkomitmen memperkuat integrasi ekonomi dan menciptakan lebih banyak peluang investasi, menjadikan Asia Tenggara sebagai tempat menarik bagi investor untuk terlibat dalam transformasi ekonomi yang dinamis.