Perjalanan Hidup dan Karier
Dalam episode Endgame #164, Haryadi Gunawi membahas topik menarik tentang peluang melanjutkan studi S2 dan S3 gratis di Amerika Serikat, khususnya di bidang STEM, namun sayangnya masih sepi peminat. Berikut adalah rangkuman dan panduan penting bagi mereka yang berminat untuk melanjutkan studi PhD di Amerika Serikat.
Latar Belakang dan Pendidikan
Haryadi lahir di Jakarta dan menghabiskan masa kecilnya di sekolah BPK PENABUR. Meski di masa SMP dan SMA dikenal sebagai siswa yang bandel, perjalanan hidupnya berubah drastis saat melanjutkan studi ke Amerika Serikat pada tahun 1997. Ia diterima di University of Wisconsin, Madison, salah satu universitas terbaik di dunia.
Pada awal kuliah, Haryadi mengaku kesulitan dengan ilmu komputer karena tidak familiar dengan teknologi dasar seperti email dan web browser. Namun, tekadnya untuk sukses membuatnya terus belajar dan beradaptasi.
Awalnya, Haryadi bercita-cita menjadi arsitek, namun berubah haluan ke ilmu komputer karena dorongan dari ibunya dan tren booming ilmu komputer saat itu. Meski sempat merasa kesulitan dengan mata kuliah awal seperti C++, ia berhasil mengatasi tantangan tersebut dengan ketekunan dan bantuan teman-teman.
Ketika lulus dengan IPK 3,7, Haryadi memutuskan untuk melanjutkan studi ke jenjang PhD. Menurutnya, konsep PhD di Amerika yang menawarkan kombinasi S2 dan S3 secara gratis menjadi daya tarik utama. Ia merasa tidak ingin membebani orang tua dan melihat kesempatan ini sebagai peluang untuk menggali ilmu lebih dalam.
Perjalanan Haryadi menuju karier profesor tidaklah mudah. Ia harus melalui proses seleksi yang ketat dan kompetitif. Namun, dukungan dari profesor muda di Wisconsin membantunya mengembangkan keahlian riset dan akademis.
Salah satu momen penting dalam kariernya adalah ketika harus memilih antara karier di industri dengan gaji besar atau melanjutkan postdoc dengan gaji lebih kecil. Haryadi memilih postdoc karena merasa lebih cocok dengan dunia akademis yang dinamis dan beragam.
“Saya percaya bahwa keberadaan pengajar Indonesia di universitas, baik STEM maupun non-STEM, sangat meningkatkan minat di tanah air. Mereka berjuang keras tanpa keuntungan pribadi. Meski sudah ada kegagalan, jika 20 orang berhasil menjadi 2000, lalu 20.000—misi kita tercapai.” Gita Wirjawan – EndGame
Haryadi memiliki keinginan kuat untuk membawa lebih banyak siswa Indonesia ke Amerika untuk melanjutkan studi di bidang STEM. Ia merasa kesepian sebagai satu-satunya mahasiswa Indonesia di program PhD-nya dan ingin mengubah kondisi tersebut. Oleh karena itu, ia aktif mengunjungi universitas di Indonesia untuk berbagi pengalaman dan mendorong siswa agar tidak takut mengambil kesempatan belajar di luar negeri.
Menghadapi Tantangan dan Mitos
Menurut Haryadi, banyak mitos yang salah mengenai studi di Amerika, terutama tentang biaya dan proses seleksi. Ia menekankan bahwa PhD di Amerika sebenarnya gratis dan dibiayai oleh pemerintah, sehingga tidak ada alasan untuk tidak mencoba.
Melalui usaha kerasnya, Haryadi berhasil menginspirasi banyak siswa Indonesia untuk mengejar mimpi mereka di dunia akademis. Ia berharap lebih banyak generasi muda Indonesia berani mengambil langkah besar untuk studi di luar negeri dan mengembangkan potensi mereka.
Penerimaan sebagai mahasiswa PhD di Amerika Serikat sering kali disertai dengan tawaran untuk menjadi asisten dosen atau asisten riset. Sebagai asisten dosen, mahasiswa membantu dalam menilai tugas, membuat ujian, dan mendukung kegiatan pengajaran lainnya. Posisi ini umumnya disertai dengan pembebasan biaya kuliah dan pemberian gaji bulanan. Pada program STEM seperti ilmu hayati, matematika, dan teknik, sekitar 10-30% mahasiswa PhD mendapatkan posisi ini.
Lebih dari itu, jika seorang profesor memiliki dana riset yang besar, mahasiswa PhD bisa menjadi asisten riset. Sekitar 40-60% mahasiswa PhD dibayar oleh profesor mereka melalui dana riset pemerintah yang melimpah. Dana ini mencapai jutaan dolar Amerika, dengan 60-70% di antaranya digunakan untuk membiayai mahasiswa PhD.
Secara keseluruhan, 80% mahasiswa PhD di Amerika Serikat mendapatkan pembiayaan. Namun, meski peluang ini terbuka lebar, hanya sedikit mahasiswa dari Indonesia yang memanfaatkannya. Sebagai perbandingan, Tiongkok mengirim sekitar 6.000 mahasiswa setiap tahun, sedangkan Indonesia hanya mengirim 82 mahasiswa. Potensi pembiayaan yang tersedia bagi mahasiswa Tiongkok di Amerika Serikat mencapai sekitar $2,5 miliar, sedangkan Indonesia hanya memperoleh sekitar $27 juta.
Mengapa Mahasiswa Indonesia Kurang Tertarik?
Ada beberapa alasan yang menjelaskan mengapa mahasiswa Indonesia kurang memanfaatkan peluang ini. Pertama, ada asumsi yang salah bahwa mendapatkan gelar PhD berarti harus menjadi dosen. Padahal, menurut data dari National Science Foundation, hanya 10% lulusan PhD di bidang ilmu komputer yang menjadi dosen, sementara 80% lainnya masuk ke industri seperti Google, Facebook, dan Microsoft. Jadi, anggapan bahwa gelar PhD hanya untuk akademisi tidak sepenuhnya benar.
Selain itu, banyak mahasiswa S1 yang tidak mengetahui bahwa mereka bisa langsung melanjutkan ke program PhD tanpa harus menyelesaikan S2 terlebih dahulu. Di Amerika Serikat, program PhD sering kali merupakan kombinasi dari S2 dan S3, sehingga mahasiswa bisa langsung melanjutkan dari S1 ke PhD.
Kendala dan Solusi
Kendala lainnya adalah kurangnya informasi dan dukungan untuk riset di tingkat S1. Banyak mahasiswa S1 yang fokus mengejar IPK tinggi tanpa melibatkan diri dalam riset, padahal pengalaman riset sangat penting untuk melanjutkan ke program PhD. Oleh karena itu, penting bagi mahasiswa S1 untuk terlibat dalam riset sejak dini agar memiliki rekam jejak yang kuat saat melamar program PhD.
Terakhir, anggapan bahwa PhD adalah proses yang membosankan juga harus diluruskan. Riset di bidang ilmu komputer, misalnya, sangat terkait dengan perkembangan industri, sehingga mahasiswa PhD sering kali berinteraksi dengan teknologi terbaru dan melakukan internship di perusahaan-perusahaan besar. Selain itu, program PhD di Amerika Serikat memungkinkan mahasiswa untuk melakukan internship selama musim panas, memberikan mereka pengalaman industri yang berharga.
Brain Drain dan Kembali ke Kampung Halaman
Salah satu isu yang sering diangkat adalah brain drain, dimana lulusan S2 dan S3 dari luar negeri enggan kembali ke tanah air. Haryadi menyoroti bahwa di Tiongkok, banyak lulusan PhD dari Amerika yang memilih untuk pulang bukan hanya karena alasan sosial seperti single child policy yang mendorong mereka untuk menjaga orang tua, tetapi juga karena peluang besar untuk berkontribusi pada industri dalam negeri. Mereka yang pulang ini memiliki pengetahuan yang mendalam tentang industri dan mampu merekayasa berbagai teknologi yang sebelumnya diimpor, menjadi produksi dalam negeri.
Menghancurkan Mitos Seputar PhD
Menurut Haryadi, ada banyak mitos yang menghalangi orang untuk mengejar gelar PhD. Beberapa mitos tersebut adalah bahwa PhD membosankan, jumlah PhD berlebihan, dan industri tidak mampu menyerap lulusan PhD. Namun, ia yakin bahwa dengan mengubah mindset ini, kita dapat melihat peluang besar yang tersedia. Seperti Tiongkok yang terus mencari ilmu di manapun meskipun mereka telah menjadi bangsa yang maju selama ribuan tahun, Indonesia juga perlu menumbuhkan semangat haus akan ilmu pengetahuan.
Peran Diaspora dan Brain Linkage
Haryadi menekankan pentingnya brain linkage atau brain circulation dibandingkan dengan brain drain. Ia bangga melihat orang Indonesia yang belajar dan bekerja di luar negeri karena ilmu dan pengalaman yang mereka peroleh akan bermanfaat bagi Indonesia, baik secara bersamaan atau setelah mereka kembali. Negara-negara seperti India dan Tiongkok telah berhasil memanfaatkan diaspora mereka untuk membangun perusahaan besar seperti Google dan Facebook. Haryadi percaya bahwa dengan adanya brain linkage, jaringan diaspora dapat memberikan kontribusi yang signifikan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia.
Garuda Ilmu Komputer: Inisiatif untuk Masa Depan
Salah satu inisiatif yang dikembangkan oleh Haryadi adalah Garuda Ilmu Komputer (GIK). Program ini bertujuan untuk mengirim 30-50 mahasiswa setiap tahun dari Indonesia untuk belajar ilmu komputer. Haryadi berharap bahwa dengan meningkatkan keahlian di bidang ini, Indonesia dapat membangun lebih banyak linkages dan membawa dampak positif pada teknologi, sosial, dan budaya. Ia juga menekankan pentingnya membangun ekosistem yang mendukung pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia agar mampu berkompetisi di dunia global.
Mengatasi Tantangan dengan Perubahan Mindset
Haryadi juga berbicara tentang tantangan birokrasi yang sering dihadapi oleh diaspora yang ingin membantu Indonesia. Birokrasi yang rumit seringkali menghalangi mereka untuk berkontribusi secara optimal. Oleh karena itu, perlu ada perubahan mindset dan sistem yang lebih mendukung agar informasi dan keahlian dapat mengalir dengan lebih lancar. Dengan demikian, ekosistem yang lebih baik dapat tercipta, memungkinkan SDM Indonesia untuk tumbuh dan berkontribusi secara global.
“Tidak cukup hanya menyediakan dana beasiswa; kita perlu mengalihkan fokus ke dana persiapan, pembimbingan, dan riset sebelum beasiswa. Meskipun lebih rumit, pendekatan ini membuka peluang yang lebih besar.” Haryadi Gunawi – EndGame
Tips Persiapan Riset
1. Mulailah dari Awal: Haryadi menekankan pentingnya memulai persiapan sejak masih kuliah S1. Mahasiswa dianjurkan untuk menyisihkan sekitar 20 jam per minggu selama dua tahun untuk riset. Ini adalah langkah awal yang penting untuk membangun resume yang kuat dan bersaing dengan pelamar dari negara lain seperti Tiongkok, India, dan Korea Selatan.
2. Fokus dan Pengorbanan: Melakukan riset membutuhkan pengorbanan. Mahasiswa mungkin perlu mengurangi waktu untuk kegiatan lain seperti kompetisi pemrograman lokal, organisasi kampus, atau hangout dengan teman. Namun, hasil akhir dari pengorbanan ini bisa sangat besar, termasuk peluang diterima di program PhD ternama di Amerika Serikat.
Haryadi juga menjelaskan bahwa di bidang ilmu komputer, riset jarak jauh sangat memungkinkan. Mahasiswa hanya membutuhkan laptop, internet, dan waktu. Ia berbagi pengalamannya menerima banyak email dari dosen dan siswa di seluruh dunia yang ingin melakukan riset bersama. Untuk berhasil, calon peneliti harus menunjukkan keseriusan dan pemahaman yang mendalam tentang bidang yang diminati.
Menurut Haryadi, untuk meningkatkan jumlah mahasiswa PhD Indonesia di Amerika, diperlukan ekosistem yang mendukung. Ini mencakup bimbingan intensif dan persiapan yang matang. Ia juga menekankan perlunya dana persiapan dan riset, bukan hanya dana beasiswa. Dana persiapan ini dapat membantu mahasiswa mempersiapkan diri sebelum mendaftar ke program PhD.
Haryadi menceritakan kisah sukses seorang mahasiswa dari Beijing Institute of Technology yang berhasil melakukan riset jarak jauh dan mempublikasikan karya bersama Haryadi. Ini menunjukkan bahwa dengan dedikasi dan persiapan yang tepat, siapa pun bisa meraih kesuksesan dalam riset internasional.
Tidak semua upaya berhasil. Haryadi mengungkapkan bahwa dari 60 orang yang ia bimbing, hanya 20 yang berhasil melanjutkan ke program PhD, sementara 40 lainnya berhenti di tengah jalan. Meskipun demikian, ia tetap optimis bahwa dengan bimbingan yang tepat dan dukungan ekosistem yang baik, jumlah ini bisa ditingkatkan.
Melanjutkan studi S2 dan S3 gratis di Amerika Serikat, terutama di bidang STEM, adalah peluang besar yang sayangnya masih kurang diminati. Dengan persiapan yang tepat, pengorbanan waktu, dan bimbingan yang baik, siapa pun bisa meraih kesuksesan di kancah internasional. Haryadi Gunawi mengajak mahasiswa dan dosen muda Indonesia untuk lebih berani mengambil peluang ini dan membuktikan kemampuan mereka di dunia riset global.