Perbincangan antara Pak Gita Wirjawan bersama Prof. Quraish Shihab diawali pada perjalanan hidup Prof. Quraish Shihab bahwa beliau berasal dari Sulawesi Selatan dengan latar belakang keluarga yang sangat peduli pada pendidikan, terutama dalam bidang tafsir Al Quran. Ayahnya adalah seorang dosen dan pendiri universitas yang sangat dihormati dalam bidang tersebut. Terinspirasi oleh ayahnya, Prof. Quraish Shihab memutuskan untuk mengikuti jejaknya dengan masuk ke pesantren dan kemudian mendapat beasiswa untuk belajar di Al Azhar, Mesir.
Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa setelah lulus ujian, ia berangkat ke Kairo pada tahun 1958 dan belajar di Al Azhar hingga mencapai tingkat doktoral. Meskipun perjalanan pendidikannya memakan waktu 13 tahun dan menjauhkannya dari keluarga, ia tetap gigih dalam mengejar gelar doktor sesuai dengan pesan ayahnya. Setelah kembali ke Indonesia untuk mengajar sebentar di Makassar, ia kembali ke Kairo untuk menyelesaikan studinya. Kesetiaan dan ketekunan Prof. Quraish Shihab dalam mengejar pendidikan menjadi salah satu poin penting dalam percakapan ini.
Perbincangan berlanjut dengan membahas konsep perbedaan antara tafsir atas tulisan dan tafsir atas sikap. Tafsir atas tulisan terkait dengan keterikatan pada teks dan pemahaman teks pada saat ditulis. Contohnya, pemahaman kata “ibu” 40 tahun yang lalu mungkin berbeda dengan pemahaman saat ini, karena perkembangan bahasa dan budaya. Oleh karena itu, dalam menafsirkan teks, penting untuk memahami konteks historisnya.
Sementara itu, tafsir atas sikap berkaitan dengan menafsirkan perilaku seseorang. Namun, yang harus diperhatikan adalah kejujuran dari perilaku tersebut, apakah perilaku itu dilakukan dengan tulus ataukah hanya bersifat sandiwara. Barulah setelah memahami keaslian perilaku, kita bisa memberikan penafsiran yang tepat.
Prof. Quraish Shihab juga menyoroti kesulitan dalam menafsirkan teks, terutama Al Quran, karena kurangnya pemahaman tentang makna kata-kata pada saat Al Quran diturunkan. Ini menegaskan pentingnya konteks sejarah dan bahasa dalam menafsirkan teks suci tersebut.
Pak Gita Wirjawan melanjutkan perbincangan dengan Prof. Quraish Shihab tentang konsep tiga inti ajaran dalam Islam: iman, Islam, dan ihsan. Konsep ini bersumber dari sebuah hadis Nabi, di mana Malaikat Jibril bertanya kepada Nabi tentang iman, Islam, dan ihsan.
Iman, menurut Prof. Quraish Shihab, adalah pembenaran hati yang tidak selalu terjangkau oleh akal manusia. Hal ini bisa dilihat dari keberadaan hal-hal yang berada di luar jangkauan nalar manusia, seperti Hari Kemudian. Iman selalu disertai dengan tanda tanya, seperti ketidakpastian seseorang yang sedang berlayar menuju suatu pulau di tengah samudera yang belum pasti akan sampai atau tidak. Namun, setelah sampai, iman berubah menjadi yakin.
Islam adalah pelaksanaan tuntunan-tuntunan agama secara konkret, sedangkan ihsan adalah melaksanakan tuntunan-tuntunan agama sebaik mungkin, seakan-akan seseorang diawasi oleh majikannya. Prof. Quraish menekankan pentingnya pengetahuan dan keteladanan dalam memperbaiki iman, Islam, dan ihsan. Dia menegaskan bahwa pengetahuan akan membantu kita membenarkan hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal, sementara keteladanan akan membudayakan budaya membaca buku, yang merupakan sumber pengetahuan yang penting.
Pak Gita Wirjawan menekankan pentingnya keteladanan, di mana orang tua membaca akan mendorong anak-anaknya untuk membaca.
“Keteladanan dalam membaca adalah kunci untuk membudayakan budaya membaca di kalangan masyarakat. Orang tua yang membiasakan anak-anaknya membaca akan memberikan warisan yang sangat berharga bagi generasi mendatang.” – Gita Wirjawan – End Game Podcast
Keteladanan adalah kunci dalam memperbaiki iman, Islam, dan ihsan, serta dalam membudayakan budaya membaca untuk mencari pengetahuan.
Prof. Quraish Shihab membahas konsep Islam wasathiyah, yang menekankan pentingnya moderasi dalam kehidupan. Beliau menjelaskan perbedaan antara moderasi dan ekstremisme, di mana moderasi berada di tengah-tengah sementara ekstremisme mencapai ujung yang berlawanan. Dalam Islam, moderasi memiliki batas yang jelas, di mana seseorang tidak boleh melampaui batas yang ditentukan.
Pendapat tentang moderasi juga dikenal dalam filsafat Barat, di mana kebaikan dianggap berada di antara dua keburukan. Namun, dalam pandangan filsafat Islam, moderasi lebih tentang ketepatan dalam tindakan dan sikap. Prof. Quraish Shihab menjelaskan bahwa kebaikan bisa mencapai puncaknya tanpa harus berada di tengah-tengah antara dua hal yang berlawanan.
Contoh-contoh yang diberikan menekankan pentingnya melakukan segala sesuatu dengan tepat, baik dari segi waktu, tempat, kadar, sasaran, maupun cara. Dalam konteks ini, wasathiyah bermakna mencari titik optimal dan keseimbangan dalam setiap tindakan dan sikap. Hal ini penting untuk mencapai tujuan dengan baik tanpa melampaui batas yang tepat.
Perbincangan bersama antara Pak Gita Wirjawan dan Prof. Quraish Shihab berlanjut dengan pembahasan mengenai polarisasi percakapan di media sosial, di mana anak-anak muda sering terpapar dengan percakapan yang terpolarisasi tanpa ada pengaturan atau editorialisasi. Prof. Quraish menyarankan untuk membatasi pembicaraan dan mengutip kata-kata hikmah yang menekankan pentingnya menahan diri dalam berbicara tentang hal-hal yang tidak diketahui, serta memberi kesempatan kepada orang lain untuk berbicara.
Beliau juga menekankan pentingnya membaca sebagai cara untuk meningkatkan pengetahuan dan pengalaman, serta meraih kemajuan dalam segala bidang. Hal ini tercermin dalam perintah pertama yang diterima Nabi Muhammad, yaitu “baca” atau “iqra”, meskipun Nabi pada saat itu tidak pandai membaca. Prof. Quraish menyatakan bahwa kunci meraih peradaban adalah melalui membaca, dan pembiasaan membaca sejak dini sangat penting, yang bisa dimulai dari rumah dengan orang tua membiasakan anak-anak membaca buku yang mereka sukai.
Selain membaca teks tertulis, Prof. Quraish juga menyarankan untuk membaca alam raya, manusia, dan sejarah sebagai cara untuk memperluas pengetahuan dan pemahaman. Pembicaraan ini menyoroti pentingnya pendidikan, pembacaan, dan pembiasaan yang tepat dalam menghadapi polarisasi percakapan di media sosial serta upaya meningkatkan kesadaran dan keterampilan berpikir kritis di kalangan masyarakat.
“Pendidikan bukan hanya tentang memperoleh gelar, tetapi juga tentang memperoleh pengetahuan dan kesadaran akan tugas moral kita sebagai manusia. Ketekunan dalam mengejar pendidikan adalah kunci untuk mencapai tujuan hidup yang lebih tinggi.” – Prof. Quraish Shihab – End Game Podcast
Prof. Quraish Shihab membahas hubungan antara beragama dan bernalar, menyatakan bahwa ajaran agama memiliki aspek yang dapat dicerna oleh akal pikiran manusia, tetapi juga memiliki aspek yang melampaui nalar manusia. Beliau memberi contoh tentang tata cara ibadah yang dapat dijelaskan secara rasional, tetapi ada juga aspek yang tidak dapat dimengerti secara rasional, seperti perubahan dalam hukum agama yang dapat terjadi dengan campur tangan akal pikiran.
Dalam pemahaman agama, nalar diibaratkan sebagai kacamata hitam yang memungkinkan manusia melihat tanpa silau. Prof. Quraish Shihab menegaskan pentingnya penggunaan nalar dalam memahami ajaran agama dan menyesuaikannya dengan konteks sosial dan perkembangan zaman. Dia menegaskan bahwa penafsiran ajaran agama haruslah sesuai dengan standar dan perkembangan zaman yang ada saat ini, dan tidak boleh terlambat dalam melahirkan pemahaman baru.
Pembicaraan mengenai penafsiran ajaran agama juga membahas peran para pakar agama dalam memberikan penafsiran baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat saat ini. Prof. Quraish menyoroti pentingnya keterbukaan dalam menerima ilmu pengetahuan dari berbagai sumber, sesuai dengan ajaran Islam yang menekankan pentingnya kebijaksanaan (hikmah) dari mana pun sumbernya.
Diskusi juga mengarah pada kejayaan Islam pada masa lalu, di mana keterbukaan terhadap ilmu pengetahuan dari berbagai budaya menjadi salah satu kunci kesuksesan. Prof. Quraish menekankan bahwa untuk mengembalikan kejayaan Islam, penting untuk fokus pada pengetahuan, membaca banyak, dan membersihkan hati. Perbincangan ini menyoroti perbedaan pandangan antara pandangan Islam dan sekuler dalam hal sumber pengetahuan dan pemahaman terhadap ilmu pengetahuan.
Dalam lanjutan perbincangan antara Pak Gita Wirjawan dan Prof. Quraish Shihab, membahas tentang bagaimana memupuk keharmonisan antara semangat demokrasi dengan semangat keislaman atau keagamaan di Indonesia sebagai negara demokrasi liberal. Prof. Quraish Shihab menggarisbawahi pentingnya menciptakan tokoh-tokoh dan pemimpin yang dapat menghayati ajaran agama sekaligus memahami kebutuhan masyarakat modern. Beliau menegaskan bahwa penting untuk tidak hanya menerapkan agama secara tekstual, tetapi juga memahami konteks dan kebutuhan masyarakat saat ini.
Pembicaraan mengenai demokrasi menyoroti beberapa paradoks, termasuk penyeleksian talenta yang seringkali didasarkan pada loyalitas dan patronase daripada meritokrasi. Prof. Quraish Shihab menyatakan bahwa demokrasi sejati membutuhkan musyawarah yang didasarkan pada syarat-syarat tertentu, dan bahwa peningkatan integritas, kecerdasan, moralitas, dan nilai-nilai sosial adalah kunci dalam mendistribusikan kekuasaan.
Peran membaca dalam mengembangkan pengetahuan dan kesadaran, serta pentingnya membedakan antara agama dan keberagamaan. Prof. Quraish menekankan bahwa agama sudah sempurna, tetapi keberagamaan terus berkembang sesuai dengan penafsiran yang berbeda-beda. Dalam hal ini, toleransi terhadap perbedaan penafsiran dan kesadaran akan makna-makna ajaran agama menjadi sangat penting.
Rendahnya prestasi sarjana muslim dalam meraih hadiah Nobel, yang menunjukkan bahwa masih ada keterlambatan dalam pencapaian dalam bidang ilmu pengetahuan. Namun, penilaian tersebut tidak selalu objektif dan dapat dipengaruhi oleh subjektivitas. Meskipun demikian, hal ini tidak mengurangi pentingnya untuk meningkatkan kapasitas membaca dan memperhatikan pencapaian dalam ilmu pengetahuan.
Pesan akhir dari Prof. Quraish Shihab adalah pentingnya membaca sebagai kunci untuk meningkatkan pengetahuan dan kesadaran, serta pentingnya untuk tidak menonjolkan perbedaan tetapi mencari titik temu dalam keberagaman.