Inovasi / Inspirasi / Teknologi · July 30, 2024

Novalia Pishesha - pemikiran kedepan

Menelusuri Langkah Novalia Pishesha: Dari Kota Kecil ke Pusat Inovasi Bioteknologi Dunia

Dari Kota Kecil ke Berkeley

Perjalanan Novalia Pishesha menuju dunia penelitian dimulai dari sebuah kota kecil hingga mencapai Universitas Berkeley. Setelah mendapatkan beasiswa penuh, Novalia merasakan kebebasan yang luar biasa untuk mengeksplorasi berbagai aktivitas seperti riset, kegiatan sukarela, dan kepemimpinan. Kesempatan ini memberinya pengalaman yang tak ternilai, serta kesempatan untuk memikirkan langkah berikutnya setelah menyelesaikan studi sarjana.

Perjalanan Novalia Pishesha menuju karier cemerlang di dunia bioteknologi tidak lepas dari peran para mentor yang ia temui sepanjang jalan. Salah satu mentornya yang paling berpengaruh adalah Profesor Harvey Lodish, yang juga dikenal sebagai pembimbing akademik S3-nya di MIT. Harvey Lodish adalah seorang tokoh terkemuka di bidang bioteknologi yang telah membimbing banyak pemenang Nobel.

Pada awalnya, Novalia belum menyadari bahwa Boston adalah pusat industri bioteknologi yang berkembang pesat. Di tahun 2012, Boston memang sudah menjadi salah satu tempat terbaik untuk riset bioteknologi, didukung oleh banyaknya universitas ternama dan rumah sakit berkualitas. Namun, istilah “Silicon Valley-nya biotek” baru populer dalam sepuluh tahun terakhir.

Ketika diwawancarai oleh Harvey Lodish, Novalia terkesan dengan kesederhanaannya. Harvey tidak banyak bertanya dan langsung menyatakan bahwa Novalia tampak hebat. Setelah mengetahui Novalia diterima di berbagai universitas ternama, termasuk MIT, Stanford, dan Berkeley, Harvey mendorongnya untuk memilih MIT karena ia sendiri akan menjadi pembimbing di sana.

Novalia akhirnya memutuskan untuk pindah ke MIT dan mendapatkan bimbingan langsung dari Harvey Lodish. Harvey mengajaknya bergabung dalam proyek penelitian mengenai sel darah merah yang dimodifikasi. Proyek ini menjadi bahan tesis PhD-nya dan membawanya pada kerjasama dengan Profesor Hidde Ploegh, seorang imunologis terkenal. Kombinasi mentorship dari Harvey dan Hidde membantu membentuk Novalia menjadi seorang ilmuwan yang unggul dalam mengembangkan dan menjawab pertanyaan ilmiah.

Selama masa studinya di MIT, Novalia berhasil mendapatkan dua paten atas teknik memodifikasi sel darah merah dan menghasilkan sel darah merah dalam jumlah besar dengan kualitas tinggi. Kedua paten ini dilisensikan oleh perusahaan yang didirikan oleh para profesornya dan telah dikomersialkan. Hal ini memberikan Novalia pengalaman nyata dalam menerjemahkan penelitian laboratorium menjadi produk komersial.

Setelah menyelesaikan S3, Novalia melanjutkan karirnya sebagai post-doctoral dan mendapatkan Harvard Junior Fellowship, sebuah pencapaian prestisius yang direkomendasikan oleh Profesor Hidde Ploegh. Novalia menjadi orang Indonesia pertama yang menerima fellowship ini, menambah daftar prestasinya yang luar biasa.

Di Harvard, Novalia menggeluti bidang nanoteknologi dengan berbagai aplikasi potensial. Penelitiannya berfokus pada pengembangan teknologi yang dapat diterapkan untuk kesehatan manusia, termasuk dalam upaya memberantas penyakit seperti malaria. Dengan kombinasi pengetahuan dan pengalaman dari mentor-mentornya, Novalia berkontribusi besar dalam kemajuan ilmu pengetahuan dan kesehatan global.

Rekayasa Sistem Imun untuk Masa Depan

Novalia Pishesha, peneliti Indonesia, kini menjadi Harvard Fellow yang bekerja untuk memanipulasi sistem imun menggunakan teknologi canggih bernama nanobody. Nanobody adalah protein kecil yang berfungsi mirip dengan antibodi, tetapi memiliki ukuran jauh lebih kecil. Ukurannya yang mini membuat nanobody lebih mudah dimanipulasi dan diproduksi dengan biaya lebih murah. Selain itu, nanobody dapat dikeringkan dan dibawa ke mana-mana tanpa memerlukan kondisi penyimpanan khusus, sehingga sangat fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kondisi.

“Anda harus bisa melihat peluang dan menerapkan teknik yang berbeda, menerapkan pengetahuan yang berbeda untuk menilai bagaimana mengatasi masalah.” Novalia Pishesha – Endgame

Novalia Pishesha, peneliti Indonesia, kini menjadi Harvard Fellow yang bekerja untuk memanipulasi sistem imun menggunakan teknologi canggih bernama nanobody. Nanobody adalah protein kecil yang berfungsi mirip dengan antibodi, tetapi memiliki ukuran jauh lebih kecil. Ukurannya yang mini membuat nanobody lebih mudah dimanipulasi dan diproduksi dengan biaya lebih murah. Selain itu, nanobody dapat dikeringkan dan dibawa ke mana-mana tanpa memerlukan kondisi penyimpanan khusus, sehingga sangat fleksibel untuk digunakan dalam berbagai kondisi.

Salah satu aplikasi awal nanobody yang dikembangkan Novalia adalah sebagai vaksin untuk penyakit infeksi. Pada awalnya, Novalia berencana mengembangkan vaksin untuk malaria vivax, jenis malaria yang umum di Indonesia. Namun, saat pandemi COVID-19 melanda, fokus penelitian bergeser ke pengembangan vaksin COVID-19. Hasil uji coba pada tikus menunjukkan data yang menjanjikan, meskipun COVID-19 kini sudah menurun, aplikasi teknologi ini dapat dialihkan ke penyakit lain.

Selain vaksin, Novalia juga menggunakan teknologi berbasis nanobody untuk perawatan penyakit autoimun seperti Lupus. Teknologi ini memungkinkan pengobatan yang lebih efektif dan efisien, menjadikannya solusi potensial untuk berbagai masalah kesehatan yang kompleks.

Dengan dukungan dari mentor-mentor seperti Profesor Harvey Lodish dan Profesor Hidde Ploegh, Novalia berhasil mengembangkan teknologi nanobody hingga memperoleh dua paten. Melihat potensi besar dari teknologi ini, Novalia bersama para mentornya mendirikan Cerberus Therapeutics, di mana ia menjabat sebagai CEO. Perusahaan ini bertujuan untuk mengembangkan dan mengkomersialkan teknologi nanobody agar dapat bermanfaat bagi dunia.

Teknologi nanobody menawarkan banyak keunggulan, termasuk biaya produksi yang rendah, fleksibilitas penyimpanan, dan kemudahan transportasi. Hal ini sangat penting untuk diterapkan di negara-negara berkembang yang sering menghadapi tantangan dalam distribusi vaksin dan obat-obatan. Vaksin berbasis nanobody dapat disimpan dalam bentuk bubuk dan hanya memerlukan penambahan air sebelum digunakan, membuatnya lebih praktis dan terjangkau.

gita wirjawan pemikiran kedepan

“pemberdayaan nanobody dan pekerjaan dengan protein memiliki agilitas tinggi. Ini bisa diberdayakan untuk evolusi penyakit ke depan, di mana efisiensi dan efektivitas penyembuhan semestinya bakal meningkat.” Gita Wirjawan – Endgame

Salah satu tujuan utama Novalia adalah membawa teknologi ini ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. Banyak penyakit infeksi yang memerlukan perhatian khusus di negara-negara ini, tetapi sering kali tidak mendapatkan prioritas dalam pengembangan vaksin di negara maju. Dengan teknologi nanobody, Novalia berharap dapat mengatasi masalah ini dan menyediakan solusi yang efektif untuk penyakit seperti malaria vivax, yang umum terjadi di Indonesia.

Usaha dan dedikasi Novalia dalam penelitian dan pengembangan teknologi ini telah diakui secara internasional. Ia baru saja menerima L’Oréal-UNESCO For Women in Science Awards untuk proposalnya yang menggunakan teknologi nanobody dalam penanganan malaria. Penghargaan ini menunjukkan betapa pentingnya penelitian Novalia bagi kemajuan ilmu pengetahuan dan kesehatan global.

Dalam dunia sains, peran perempuan seringkali kurang diakui meskipun kontribusi mereka sangat besar. Novalia Pishesha, seorang peneliti Indonesia yang kini menjadi Harvard Fellow, berbagi pandangannya tentang tantangan dan peluang bagi perempuan di bidang sains dan teknologi (saintek).

Menurut Novalia, budaya adalah salah satu kendala terbesar yang dihadapi perempuan dalam mengejar karir di bidang sains. Sejak kecil, perempuan sering diberi nasihat yang membatasi mereka, seperti “jangan terlalu pintar nanti susah cari suami” atau “perempuan sebaiknya lebih diam dan tidak terlalu vokal”. Namun, dalam dunia sains, bersuara dan mengemukakan ide adalah hal yang sangat penting.

Ekspektasi dan definisi kesuksesan bagi perempuan dan laki-laki sangat berbeda. Meskipun saat ini jumlah perempuan yang mengambil jurusan sains di tingkat S1 hampir setara dengan laki-laki, jumlah ini menurun signifikan di tingkat S2 dan S3, dan lebih sedikit lagi yang mencapai level kepemimpinan seperti profesor. Kendala ini tidak hanya terjadi di Asia, tetapi juga di negara-negara Barat.

Selain kendala budaya, perempuan juga menghadapi tantangan biologis dan sosial. Misalnya, kehamilan dan tanggung jawab mengurus anak yang lebih sering dibebankan kepada perempuan dapat mempengaruhi produktivitas mereka. Novalia sendiri merasa beruntung karena memiliki suami yang juga seorang ilmuwan dan mendukung karirnya tanpa menganggap karirnya lebih penting daripada miliknya.

Membangun Dukungan dan Mengubah Persepsi

Membangun dukungan di antara sesama perempuan di bidang sains sangat penting untuk mengubah dinamika dan persepsi masyarakat. Novalia menekankan pentingnya saling mendukung dan memotivasi satu sama lain untuk mencapai kesuksesan. Dia juga menyadari bahwa sering kali perempuan harus lebih “membanggakan” diri mereka dan menunjukkan prestasi mereka untuk diakui dalam komunitas ilmiah yang masih didominasi laki-laki.

Novalia percaya bahwa dengan terus berjuang dan mendobrak batasan-batasan yang ada, perempuan dapat menginspirasi generasi mendatang. Dalam pelatihan yang dia berikan, dia mencatat bahwa jumlah peserta perempuan yang tertarik pada sains semakin meningkat. Dia berharap tren ini terus berlanjut dan semakin banyak perempuan yang meraih kesuksesan di bidang sains.

Dalam diskusi mengenai demokratisasi peluang, Novalia menekankan pentingnya memberdayakan perempuan untuk membuat pilihan berdasarkan pengetahuan yang cukup. Ia berharap masyarakat dapat mendukung perempuan untuk mengejar karir di bidang sains jika itu adalah pilihan mereka, tanpa mengesampingkan peran penting sebagai ibu rumah tangga.

Novalia juga membahas perbedaan antara negara-negara seperti Tiongkok, India, Vietnam, dan Singapura dengan Indonesia dalam hal orientasi sains. Negara-negara tersebut memiliki sejarah panjang dalam mengejar prestasi akademis dan posisi tinggi melalui ujian yang ketat, sesuatu yang menurut Novalia belum seutuhnya ada di Indonesia.

Menutup wawancaranya, Novalia memberikan pesan yang sederhana namun mendalam: “Bersikap baik dan jangan terlalu serius.” Ia berharap bahwa generasi muda Indonesia dapat terus berjuang dan mencapai kesuksesan dengan semangat dan dedikasi.

Dengan dedikasi dan visinya yang kuat, Novalia Pishesha terus menjadi inspirasi bagi banyak orang, tidak hanya di Indonesia tetapi juga di seluruh dunia. Perjalanan dan usahanya dalam bidang sains dan teknologi membuktikan bahwa dengan kerja keras dan dukungan yang tepat, mimpi besar dapat diwujudkan.

@pemikirankedepan

Penting untuk memperluas kebebasan berpikir dalam pendidikan, tetapi strukturisasi juga penting. Kurikulum yang menekankan sains dan teknologi dapat meningkatkan minat, memperbaiki kesenjangan S3, dan menciptakan lapangan kerja yang dibutuhkan. #EdukasiIndonesia #PendidikanSTEM #Pendidikan #PendidikanMaju #PendidikanTinggi #FYP #Endgame #GitaWirjawan #MinatSains #SiswaIndonesia #SelfFulfillment

♬ suara asli – pemikirankedepan – pemikirankedepan