Dalam episode Endgame #33, Marty Natalegawa, mantan Menteri Luar Negeri Indonesia, membahas tantangan ASEAN dalam menghadapi dinamika geopolitik kawasan, termasuk ketegangan di Laut Cina Selatan dan peran The Quad (India, AS, Australia, Jepang). Marty menekankan pentingnya ASEAN memiliki strategi atau “naskah” yang jelas untuk menghadapi situasi yang terus berkembang.
Masa Kecil dan Minat Terhadap Diplomasi
Marty bercerita tentang masa kecilnya yang penuh dengan ketertarikan pada isu-isu internasional. Sejak usia 7-8 tahun, ia sudah mengumpulkan kliping koran tentang perkembangan global. Pendidikan dasar hingga perguruan tinggi Marty dihabiskan di Jakarta, Singapura, dan Inggris. Minatnya pada hubungan luar negeri semakin berkembang saat menempuh pendidikan di asrama terpencil di Inggris, di mana ia sering harus menjelaskan tentang Indonesia kepada teman-temannya yang tidak tahu banyak tentang negara tersebut.
Setelah menamatkan pendidikan S1 di London School of Economics (LSE) dan S2 di Cambridge, Marty kembali ke Indonesia dan langsung bergabung dengan Kementerian Luar Negeri (Kemenlu). Baginya, diplomasi adalah jalur yang tepat untuk menyalurkan minatnya pada hubungan internasional dan keinginannya untuk berkontribusi bagi masyarakat. Jika bukan di bidang ini, Marty merasa bahwa ia akan tetap memilih jalur pelayanan publik.
Buku “Does ASEAN Matter?”
Marty juga berbagi tentang bukunya yang berjudul “Does ASEAN Matter?”. Buku ini lahir dari keinginan Marty untuk merekam pengalamannya dalam diplomasi, terutama saat melihat banyak ketidakpahaman mengenai Asia Tenggara di buku-buku yang ia temui di luar negeri. Buku ini mempertanyakan relevansi ASEAN dalam konteks global dan berupaya memberikan pandangan dari dalam tentang perjalanan organisasi ini.
Buku tersebut menyoroti tiga peran penting ASEAN:
- Mengubah hubungan antar negara Asia Tenggara dari defisit kepercayaan menjadi kepercayaan strategis.
- Mengangkat posisi ASEAN dalam konstelasi global dari sekadar korban persaingan negara besar menjadi entitas sentral.
- Menekankan dimensi kerakyatan ASEAN, terutama dalam bidang ekonomi dan tata kelola pemerintahan.
Namun, Marty mengingatkan bahwa apa yang telah dicapai ASEAN bukanlah hal yang pasti. Kemajuan ini adalah hasil kerja keras yang harus terus dijaga, jika tidak, ASEAN bisa saja mundur.
Tantangan dan Harapan untuk Generasi Muda
Marty juga menyoroti tantangan yang dihadapi ASEAN saat ini, terutama dalam menarik perhatian generasi muda. Menurutnya, banyak anak muda di ASEAN belum merasa terhubung dengan identitas mereka sebagai anggota ASEAN. Marty menjelaskan bahwa transformasi ASEAN dari defisit kepercayaan menuju kepercayaan strategis merupakan proses panjang yang sangat dipengaruhi oleh peran Indonesia, terutama melalui berbagai inisiatif diplomasi seperti Bali Concord I dan Treaty of Amity and Cooperation (TAC) pada tahun 1976.
Meski ada tantangan, Marty menekankan pentingnya generasi muda untuk memahami relevansi ASEAN. Bagi Marty, transformasi ASEAN menjadi entitas yang lebih berdimensi kerakyatan dan lebih relevan dalam kehidupan sehari-hari adalah tugas yang harus diemban oleh semua pihak, termasuk generasi muda.
Keahlian dan Tantangan dalam Diplomasi ASEAN
Marty Natalegawa menekankan pentingnya keahlian bahasa dan pemahaman mendalam tentang negara-negara anggota ASEAN seperti Laos dan Myanmar. Menurutnya, kesadaran ini tidak bisa terbatas hanya pada organisasi ASEAN secara keseluruhan, tetapi juga harus mencakup elemen-elemen konstituen di dalamnya.
Dalam diskusi, Marty membahas tentang transformasi ASEAN dari sebuah pion dalam Perang Dingin menjadi kekuatan sentral di Asia Tenggara. Ia menggarisbawahi pentingnya ASEAN dalam menghadapi tantangan geopolitik, seperti persaingan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Marty menyebut bahwa persaingan antara negara-negara besar bukanlah hal baru di kawasan ini. Bahkan sebelum ASEAN didirikan, Asia Tenggara telah terbagi oleh pengaruh dari berbagai kekuatan global, termasuk Amerika Serikat, Uni Soviet, dan Tiongkok.
Marty menjelaskan bahwa pada awalnya, respon negara-negara Asia Tenggara terhadap persaingan global adalah netralitas. Melalui ZOPFAN (Zona Damai, Kebebasan, dan Netralitas) pada tahun 1971, ASEAN menekankan sikap netralnya dalam persaingan antara negara-negara besar. Namun, seiring waktu, Indonesia mengambil inisiatif untuk membawa ASEAN ke arah yang lebih sentral. Melalui konsep ketahanan nasional dan regional, ASEAN mulai menempatkan diri sebagai entitas yang lebih proaktif dalam membentuk tatanan di kawasan.
Indonesia, menurut Marty, memainkan peran penting dalam transformasi ini. Dari hanya sekadar bersikap netral, ASEAN kemudian mengadopsi sentralitas sebagai prinsip utama. Sentralitas ini mencerminkan politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif, bersahabat dengan semua negara, baik itu Uni Soviet, Tiongkok, atau Amerika Serikat.
Meski telah mencapai banyak kemajuan, Marty mengingatkan bahwa sentralitas ASEAN tidak bisa diambil begitu saja. Ada risiko bahwa ASEAN bisa kehilangan posisi sentralnya jika hanya menjadi kekuatan yang mampu menggelar konferensi atau pertemuan besar tanpa memiliki pengaruh substansial. Marty mengutip pengalaman Indonesia saat memimpin ASEAN pada tahun 2011, di mana Indonesia memprakarsai berbagai inisiatif seperti Bali Principles yang bertujuan untuk mengadopsi prinsip-prinsip perdamaian ASEAN ke dalam kerangka East Asia Summit.
Selain itu, Marty juga membahas tentang pencanangan RCEP (Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional) pada tahun 2011, yang merupakan gagasan untuk menghubungkan negara-negara di kawasan melalui perdagangan bebas. Inisiatif ini membutuhkan proses yang panjang dan baru direalisasikan pada tahun 2020, menunjukkan betapa pentingnya ASEAN untuk terus tampil dengan gagasan-gagasan besar demi mempertahankan pengaruhnya.
Marty Natalegawa memulai dengan menyoroti kompleksitas hubungan antara Amerika Serikat dan Tiongkok. Tidak hanya dihadapkan pada persaingan, hubungan ini juga melibatkan kerja sama dalam berbagai bidang, seperti perdagangan dan teknologi. Selain itu, terdapat dinamika yang serupa dalam hubungan Tiongkok dengan negara lain seperti India dan Jepang. Marty menegaskan bahwa ASEAN harus memiliki narasi yang jelas, atau ASEAN hanya akan menjadi “tim penyelenggara acara” tanpa arah yang pasti.
Pengaruh Kebijakan AS terhadap ASEAN
Gita Wirjawan kemudian bertanya mengenai dampak perubahan kebijakan AS di bawah pemerintahan Joe Biden dibandingkan dengan pemerintahan sebelumnya. Marty menjelaskan bahwa siapa pun yang berkuasa di Gedung Putih pasti akan membawa dampak. Sebagai contoh, jika krisis di Myanmar terjadi di bawah pemerintahan Donald Trump, kemungkinan besar respons AS akan sangat berbeda dengan apa yang dilakukan oleh pemerintahan Biden. Marty menekankan bahwa meskipun gaya kepresidenan berbeda, hubungan antara AS dan Tiongkok lebih dari sekadar masalah personalitas pemimpin. Hubungan ini merupakan bagian dari perubahan geopolitik dan strategis yang mendasar.
Marty juga menyinggung bahwa persaingan antara AS dan Tiongkok tidak bisa hanya dilihat sebagai persaingan antara dua negara, tetapi juga sebagai gejala perubahan sistemik dalam tatanan global. AS yang mengalami kemunduran dan kebangkitan Tiongkok menciptakan dinamika baru yang harus dihadapi dengan cerdas oleh negara-negara di kawasan, termasuk Indonesia. Menurutnya, persaingan ini sangat berbeda dengan persaingan AS-Uni Soviet di masa lalu, di mana sekarang persaingan terjadi di berbagai bidang, mulai dari ekonomi, teknologi, hingga kesehatan.
Gita juga menanyakan tentang bagaimana orang awam di Indonesia dan Asia Tenggara harus bersikap terhadap isu Laut Cina Selatan. Marty menggarisbawahi pentingnya memiliki perspektif dan visi jangka panjang dalam menghadapi masalah ini. Ia menceritakan bagaimana pada awal 1990-an, ketika isu Laut Cina Selatan belum menjadi perhatian utama, Indonesia sudah mengambil langkah-langkah proaktif dengan menggalang kesadaran di antara negara-negara ASEAN. Upaya ini akhirnya membuahkan hasil dengan adanya Deklarasi ASEAN tentang Laut Cina Selatan dan Code of Conduct (COC) dengan Tiongkok.
Pentingnya Pendekatan Diplomatik Indonesia
Indonesia, yang selama ini mempelopori pendekatan kolektif dalam manajemen konflik di Laut Cina Selatan, menurut Marty, harus tetap berada di garis depan dalam mengedepankan diplomasi. Ia mengingatkan bahwa Indonesia sudah bekerja keras untuk mencapai titik ini dan tidak boleh ketinggalan dalam menjaga perdamaian dan stabilitas di kawasan. Dalam sejarahnya, Indonesia selalu menjadi negara yang menjaga persatuan di ASEAN, dan Marty menekankan pentingnya peran ini terus dilanjutkan.
Gita Wirjawan kemudian bertanya apakah normal baru di Laut Cina Selatan berarti aktivitas Tiongkok akan semakin dominan, atau apakah ada kemungkinan untuk menciptakan garis yang jelas tentang apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan di kawasan tersebut. Marty menjelaskan bahwa konflik perbatasan selalu kompleks dan sulit diselesaikan karena menyangkut kedaulatan dan integritas wilayah. Namun, ada upaya seperti Code of Conduct (COC) yang diinisiasi untuk menciptakan aturan main di Laut Cina Selatan agar insiden kecil tidak berkembang menjadi konflik besar.
Marty juga menyoroti bahwa meskipun perundingan mengenai klaim di Laut Cina Selatan sangat kompleks dan memakan waktu, komitmen politik dari semua pihak sangat penting. Ia menyebutkan bahwa perundingan bilateral saja bisa memakan waktu puluhan tahun, apalagi perundingan yang melibatkan banyak pihak seperti di Laut Cina Selatan. Namun, dengan adanya political will, mencapai kesepakatan bukanlah hal yang mustahil.
Harapan untuk Generasi Pemimpin Selanjutnya
Marty menyampaikan harapan bahwa meskipun generasi pemimpin saat ini mungkin belum memiliki kebijaksanaan untuk menyelesaikan masalah Laut Cina Selatan, mereka setidaknya tidak memperburuk situasi. Pemimpin saat ini harus memastikan bahwa situasi tetap terkendali, dan jika tidak dapat diselesaikan, setidaknya dikelola dengan baik.
Gita juga bertanya mengenai peran The Quad (India, AS, Australia, dan Jepang) dan dampaknya terhadap sentralitas ASEAN. Marty menjelaskan bahwa The Quad, yang semakin mencuat di bawah pemerintahan Presiden Trump, tampak memiliki jati diri sebagai aliansi yang anti-Tiongkok. Namun, apakah peran ini akan terus berlanjut di bawah pemerintahan Presiden Biden masih belum jelas. Marty berpendapat bahwa Biden mungkin akan menggunakan alat diplomasi yang lebih menyeluruh dibandingkan pendahulunya.
Peran ASEAN dan Keunggulan Multilateral
Marty menekankan bahwa ASEAN harus tetap menjadi pusat dari berbagai kerja sama regional. Ia mengingatkan bahwa melalui ASEAN, semua kepentingan dapat diakomodasi tanpa harus bergantung pada regionalisme yang sempit. Salah satu pencapaian penting ASEAN adalah berhasil melibatkan AS dan Rusia dalam East Asia Summit (EAS), menjadikan ASEAN sebagai dirigen dalam platform tersebut. Marty mengingatkan bahwa jika EAS hanya menjadi pertemuan seremonial tahunan, ada risiko munculnya inisiatif-inisiatif lain yang bisa merusak sentralitas ASEAN.
Marty juga membahas pentingnya RCEP (Regional Comprehensive Economic Partnership) sebagai platform ekonomi di mana ASEAN berperan sentral. Salah satu motivasi utama di balik RCEP adalah mengikutsertakan India dalam proses ini. Namun, sayangnya India memutuskan untuk tidak bergabung di saat-saat terakhir. Marty mengungkapkan harapan agar para pemimpin ASEAN memiliki strategi untuk memastikan bahwa AS dan Rusia, jika mereka memutuskan untuk terlibat di kawasan, melakukannya melalui RCEP, bukan melalui inisiatif seperti TPP (Trans-Pacific Partnership).
Marty juga menyentuh situasi di Myanmar, mengingatkan bahwa para pengambil keputusan menghadapi tantangan besar dalam mengelola perkembangan di negara tersebut. Meskipun ia tidak memberikan jawaban konkret, Marty menekankan bahwa keputusan yang diambil oleh para pemimpin harus mempertimbangkan semua pilihan yang ada untuk memastikan stabilitas di Myanmar dan kawasan sekitarnya.
Marty menekankan bahwa ASEAN tidak boleh menghindar dari tanggung jawabnya dan harus mengambil langkah nyata dalam menangani krisis Myanmar. Pada pertemuan virtual ASEAN baru-baru ini, Marty mengkritik bahwa pernyataan yang dihasilkan hanya mencerminkan perpecahan di antara negara-negara anggota dan tidak menunjukkan langkah konkret untuk menangani krisis tersebut.
Marty juga menyoroti pentingnya pendekatan yang tepat dalam menangani Myanmar, termasuk berkomunikasi dengan junta militer tanpa mengabaikan aspirasi demokrasi rakyat Myanmar. Menurutnya, ASEAN harus berhati-hati agar tidak memperkuat posisi junta militer dan mengabaikan aspirasi rakyat Myanmar yang menginginkan kebebasan dan demokrasi.
Dalam konteks diplomasi, Marty juga menekankan pentingnya timing dan pendekatan informal dalam mediasi. Ia menyebutkan bahwa dalam situasi krisis seperti di Myanmar, pendekatan yang moderat dan informal dapat lebih efektif dalam mencapai kesepakatan daripada pendekatan yang terlalu formal dan terbuka.
Menutup pembahasannya, Marty mengingatkan bahwa ASEAN harus menunjukkan tanggung jawab mereka dengan tidak menunda-nunda tindakan yang diperlukan. Ia berharap bahwa upaya-upaya diplomatik, termasuk yang dilakukan oleh Menteri Luar Negeri Indonesia, dapat menghasilkan solusi yang diharapkan.