Di zaman yang penuh dengan ketidakpastian dan perubahan cepat, banyak orang muda merasa seperti hidup di kapal yang perlahan tenggelam. Rasa tak berdaya itu mengintensifkan saat menghadapi berita politik, perubahan iklim, inflasi, dan dampak teknologi seperti AI yang menggantikan pekerjaan manusia. Baskara Putra, musisi di balik nama Hindia, mencerminkan keresahan ini dalam karya dan kehidupannya.
Masa Kecil dan Perjalanan Menuju Musik
Baskara Putra tumbuh dalam keluarga yang jauh dari dunia seni. Ayahnya bekerja di BUMN, sementara ibunya menjadi ibu rumah tangga setelah sebelumnya juga bekerja di BUMN. Kedua kakaknya berkarir di perbankan dan properti. Meski awalnya tidak percaya diri dengan potensi musiknya, dorongan dari keluarga dan pengalamannya sendiri membawanya ke dunia musik.
Baskara mengawali pendidikan di sekolah swasta Pangudi Luhur, lalu melanjutkan ke Universitas Indonesia. Sebelum menekuni musik secara penuh, ia sempat bekerja di British Council dalam tim arts and culture. Perjalanannya di dunia musik mulai serius saat ia mengajak kakaknya yang berbakat dalam musik untuk bergabung dalam bandnya, Feast.
Baskara mulai mengeksplorasi musik sejak kecil, dipengaruhi oleh ibunya yang bermain piano dan sering memutar musik Frank Sinatra di rumah. Meski awalnya merasa minder karena kakaknya lebih berbakat, Baskara akhirnya menemukan jalannya sendiri. Tahun 2018 menjadi titik balik dengan rilisnya lagu “Peradaban” yang sukses besar, membawa Baskara dan Feast ke panggung besar.
Meski awalnya masih bekerja di label musik, Baskara merasa waktu untuk musiknya tidak cukup. Bersama temannya, ia mendirikan Sun Eater, label musik yang kini berkembang menjadi label dan manajemen serius. Seiring berjalannya waktu, Baskara terus mengembangkan proyek-proyek musiknya, baik dengan Feast maupun Hindia.
Lirik-lirik Baskara sering kali membahas isu sosial politik dan kesehatan mental dari sudut pandang pribadi. Dalam band Feast, liriknya banyak mengangkat isu sosial politik dari perspektif orang biasa dan mahasiswa. Sementara dalam proyek solonya, Hindia, lirik-liriknya lebih personal, menggambarkan gejolak batin dan kesehatan mentalnya sendiri.
Baskara mengakui bahwa banyak musisi sekarang menjadikan isu kesehatan mental sebagai topik yang bisa dijual. Namun, baginya, yang terpenting adalah kejujuran dalam bercerita. Ia lebih suka menulis tentang pengalaman pribadi dan bagaimana perasaannya terhadap berbagai hal, yang ternyata banyak dirasakan juga oleh orang lain.
Baskara melihat dunia saat ini penuh dengan ketidakpastian yang mempengaruhi kesehatan mental banyak orang. Berita buruk yang terus-menerus muncul di media sosial dan televisi menjadi pemicu stres. Ia menggambarkan dunia seperti ruangan yang semakin redup, membuat orang semakin sulit melihat masa depan dengan jelas.
Generasi muda saat ini, menurut Baskara, lebih fokus pada kekinian dan sering mengabaikan masa depan jangka panjang. Kecenderungan ini terlihat dalam cara mereka berinteraksi dengan isu-isu sosial dan politik. Meski begitu, Baskara optimis bahwa melalui musik, diskusi dan kesadaran tentang isu-isu ini bisa terus berkembang.
Baskara menekankan pentingnya melihat keindahan dalam hal-hal sehari-hari. Baginya, lirik yang ia tulis harus sederhana dan mudah dipahami, mencerminkan kehidupan sehari-hari yang sering kali diabaikan keindahannya. Dengan cara ini, ia berharap musiknya bisa menjadi medium untuk berbagi pengalaman dan membuka diskusi tentang berbagai isu penting.
“Kecenderungan mengutamakan kekinian dan mengabaikan masa depan semakin tinggi. Namun, ini bisa menjadi jembatan bagi generasi kita untuk memperbaiki dan mengobati diri.” Gita Wirjawan – EndGame
Teknologi dan Sensasionalisasi
Internet yang awalnya diharapkan bisa menyetarakan masyarakat, menurut Baskara justru memperparah elisitasi. Ia menyebutkan bahwa 0,1% orang kini menguasai persentase yang jauh lebih besar dari kue ekonomi dibandingkan 99% lainnya. Hal ini, menurutnya, merupakan hasil dari ketidaksetaraan yang diperparah oleh perkembangan teknologi.
Baskara juga membahas tentang kecerdasan artifisial (AI) dan dampaknya pada masyarakat. Dia menyoroti bahwa perkenalan AI ke publik dilakukan terlalu cepat tanpa mitigasi yang memadai. Ia menyebutkan contoh dari dunia seni visual di mana sebuah studio besar mendapatkan banyak kritik setelah menggunakan AI dalam produksi mereka.
Menurut Baskara, internet sering kali memunculkan argumen yang bersifat biner, tanpa ruang untuk nuansa atau pemikiran tengah. Dia merasa AI memiliki potensi manfaat yang besar, tetapi juga berpotensi menggeser banyak hal secara struktural.
Baskara menyoroti bahwa pemilik teknologi seringkali merasa paling pintar dan mengabaikan pandangan dari berbagai ahli lainnya, seperti ahli budaya, sosial, lingkungan, dan ekonomi. AI, menurutnya, sangat tergantung pada “hipnosis” yang diberikan oleh pengguna, yang bisa berdampak negatif jika pengguna tersebut memiliki moralitas yang “unik”.
Tantangan Generasi Muda
Generasi muda merasa tidak berdaya menghadapi berbagai isu seperti politik, iklim, inflasi, dan penggantian pekerjaan oleh AI. Baskara menyebutkan bahwa kesenian bisa membangkitkan semangat dan mendorong diskusi, namun sering kali berhenti di sana tanpa tindakan lanjut.
Salah satu cara untuk mencapai keseimbangan antara negara dan masyarakat adalah dengan penegakan hukum yang kuat. Baskara percaya bahwa semakin tegaknya hukum, semakin baik demokrasi dapat berjalan. Ketidakjelasan mengenai penegakan hukum membuat masyarakat bingung dan ragu untuk bergerak.
Baskara mengajak untuk lebih mengedepankan fakta daripada fiksi dalam setiap diskusi dan pengambilan keputusan. Menurutnya, penting untuk tidak melupakan sejarah dan lebih imun terhadap fiksi agar bisa memilih pemimpin yang tepat dan menggunakan intelektualisasi daripada sensasionalisme.
“Diplomat terbaik sebuah negara adalah atlet dan seniman, karena mereka berbicara dengan bahasa universal. Namun, budaya dan keatletisan hanya bisa berkembang dengan dukungan ekonomi yang kuat.” Baskara Putra – EndGame
Kekhawatiran Akan Kebijakan dan Ideologi
Baskara mengungkapkan kekhawatirannya tentang bagaimana ideologi di Indonesia sering kali tidak diterjemahkan ke dalam kebijakan yang jelas. Kebijakan moneter, fiskal, dan luar negeri sering kali tidak mencerminkan ideologi yang solid. Lebih lanjut, koalisi politik seringkali didasarkan pada pembagian kekuasaan alih-alih kesamaan ideologi, yang pada akhirnya menghambat meritokrasi dan mendorong patronase dan loyalitas buta.
Baskara, meskipun penuh kritik, menunjukkan optimisme terutama dalam perkembangan industri kreatif di Indonesia. Ia mencatat perkembangan pesat dalam perfilman dan musik sebagai contoh positif. Namun, ia juga mengkritik minimnya peran negara dalam mendukung kesenian, terutama dalam hal royalti dan hak-hak musisi yang sering kali diabaikan meskipun ada regulasi yang seharusnya melindungi mereka.
Gita Wirjawan, host podcast ini, menekankan pentingnya berpikir jangka panjang dan mendorong isu-isu penting agar terus dibicarakan dan didiskusikan dalam ranah kebijakan dan politik. Gita menggarisbawahi pentingnya menemukan interseksi antara talenta dan kekuasaan, mengambil contoh Singapura yang sukses menggabungkan kedua elemen ini untuk kepentingan pemerintahan dan kepemimpinan di berbagai bidang.
Baskara juga berbicara tentang kekuatan seni sebagai alat untuk bercerita dan berdiplomasi. Ia percaya bahwa seniman dan atlet adalah diplomat terbaik karena mereka bisa menyampaikan pesan dengan bahasa universal yang bisa dipahami oleh semua orang. Namun, ia juga mengakui bahwa tanpa dukungan ekonomi yang kuat, budaya dan atletisme tidak akan bisa berkembang dengan maksimal.
Diskusi ini juga menyoroti pentingnya bersikap kritis sebagai bentuk patriotisme. Gita menyatakan bahwa patriotisme sejati hanya bisa terwujud melalui pemikiran kritis dan bukan dengan pujian kosong. Kritik yang konstruktif adalah tanda cinta dan kepedulian terhadap negara.
Baskara Putra, dengan pandangan kritisnya, menunjukkan bahwa meskipun ada banyak tantangan, masih ada harapan dan optimisme untuk masa depan Indonesia. Industri kreatif terus berkembang, dan dengan dukungan kebijakan yang tepat serta diskusi yang berkelanjutan, Indonesia bisa mencapai kemajuan yang lebih besar di berbagai bidang.
Pesan Akhir
Sebagai penutup, Baskara dan Gita sepakat bahwa perjuangan tidak boleh berhenti. Berpikir kritis dan terus mendorong perubahan adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik. Bagi Baskara, kritik adalah bentuk cinta yang sejati terhadap Indonesia.