Uncategorized · November 11, 2024

peter carey

Tanah Jawa 300 Tahun yang Lalu: Mengenal Sejarah Bersama Peter Carey

Dalam episode Endgame yang dipandu oleh Gita Wirjawan, kita kedatangan tamu istimewa, Peter Carey, seorang sejarawan ternama yang telah lama berkecimpung dalam sejarah Indonesia. Dalam perbincangan ini, Peter Carey mengungkap banyak hal menarik tentang perjalanan hidupnya serta ketertarikannya terhadap sejarah Tanah Jawa dan tokoh besar Diponegoro. Berikut adalah rangkuman wawancaranya yang telah diubah menjadi artikel SEO yang mudah dipahami.

Perjalanan Hidup Peter Carey: Dari Burma hingga Indonesia

Peter Carey lahir di Yangon, Myanmar (dulu Burma), dari keluarga petualang—ibunya lahir di Shanghai dan ayahnya dari Liverpool. Pada masa itu, Burma adalah pengekspor beras utama. Ayahnya ditugaskan membuka cabang perusahaan impor di Rangoon, di mana orang tuanya bertemu dan menikah saat Perang Dunia II. Selama perang, ayah Carey harus berjalan 750 kilometer dari Yangon ke Bangladesh untuk menyelamatkan diri, pengalaman yang sangat mempengaruhi hidup Carey.

Setelah belajar sejarah di Oxford, Carey awalnya tertarik pada dampak Revolusi Prancis, tetapi seorang profesor menyarankan ia mempelajari sejarah Jawa terkait era Napoleon. Ini membawanya mendalami sejarah Indonesia, khususnya Perang Jawa dan Pangeran Diponegoro. Carey belajar bahasa Indonesia, Jawa, dan Belanda untuk mengakses arsip sejarah, dengan fokus pada perspektif akar rumput.

Pengalaman uniknya adalah berlayar dari Amerika ke Indonesia dengan kapal Jakarta Lloyd selama tiga bulan, mulai dari New Orleans hingga Sumatera, bersama awak kapal dari berbagai daerah di Indonesia. Perjalanan ini memberinya wawasan mendalam tentang keragaman budaya Indonesia dan memperkuat kecintaannya pada negara ini.

Gita Wirjawan bersama Peter Carey
Gita Wirjawan bersama Peter Carey

Raffles dan Penjajahan Inggris di Jawa

Peter Carey mengulas peran Thomas Stamford Raffles, yang datang ke Jawa dengan ambisi besar sebagai wakil Inggris. Raffles digambarkan sebagai sosok cerdas, pekerja keras, dan memiliki ingatan fotografis, yang membantunya menyalin dokumen penting. Sebagai “social climber,” ia cermat membangun hubungan dengan tokoh berpengaruh, seperti Lord Minto, gubernur jenderal India saat itu.

Selama pendudukan Inggris di Jawa (1811-1816), Raffles berusaha memperbaiki administrasi pulau dengan pendekatan yang lebih sistematis dibandingkan Belanda. Ia juga menjalin hubungan diplomatik dengan penguasa lokal dan menunjukkan minat besar pada budaya dan adat istiadat Jawa, yang mempengaruhi kebijakan-kebijakannya selama berada di Nusantara.

Pengaruh Peradaban Barat dan Tantangan Masa Kini

Sejak zaman kolonial, peradaban Barat telah mendominasi banyak aspek kehidupan di Nusantara. Peter Carey, sejarawan yang mempelajari kehidupan Diponegoro, mengungkapkan bahwa hingga tahun 1800-an, ekonomi dunia dikuasai oleh China dan India. Namun, dominasi Barat mulai menekan melalui kebijakan ekonomi dan perdagangan, seperti Perang Opium, yang mengubah lanskap ekonomi global dan menciptakan kesenjangan yang masih terasa hingga kini.

Carey menyatakan tantangan saat ini adalah mengangkat kembali budaya dan kepribadian lokal untuk menunjukkan bahwa peradaban global tidak hanya berpusat di Barat. Di masa lalu, Nusantara adalah pusat kebudayaan besar, tetapi kolonialisme dan eksploitasi sumber daya alam mengakibatkan hilangnya kendali atas narasi budaya kita sendiri.

“Pengetahuan sejarah itu penting sekali untuk kita bisa mengukir masa depan.” Gita Wirjawan – EndGame

Dahsyatnya Letusan Tambora dan Merapi

Letusan Gunung Tambora pada tahun 1815 dan Gunung Merapi pada tahun 1822 merupakan peristiwa alam yang berdampak besar pada pola pikir masyarakat Jawa. Peter Carey menjelaskan bahwa letusan Tambora tidak hanya menghancurkan wilayah Bima, tempat asal leluhur Diponegoro, tetapi juga mempengaruhi iklim global. Fenomena ini dikenal sebagai “efek kupu-kupu,” di mana dampak letusan dapat memengaruhi cuaca di Eropa dan mengubah jalannya pertempuran Waterloo.

Bagi masyarakat Jawa, letusan gunung dianggap bukan hanya peristiwa alam, tetapi juga sebagai tanda dari alam semesta dan Tuhan. Bencana ini menjadi simbol adanya ketidakberesan dalam tatanan dunia, dan Diponegoro merasakannya sebagai panggilan spiritual untuk memulai perjuangan melawan penindasan.

Kebangkitan Spiritual Diponegoro

Kebangkitan spiritual Diponegoro terkait erat dengan peristiwa besar di sekitarnya, termasuk letusan Gunung Merapi. Pada malam letusan, Diponegoro merasakan bahwa alam menyampaikan pesan penting; ia melihat langit merah darah dan merasakan gempa, yang ia tafsirkan sebagai amarah Tuhan. Ini memperkuat keyakinannya akan tugas suci untuk memimpin rakyat Jawa melawan ketidakadilan. Bagi Diponegoro, alam mencerminkan realitas spiritual. Ia percaya bahwa tanggung jawabnya tidak hanya di dunia material, tetapi juga melibatkan dunia leluhur. Keyakinan ini memandu langkahnya dalam memimpin Perang Jawa (1825-1830) melawan penjajahan Belanda. Diponegoro memiliki hubungan erat dengan mistisisme Jawa, khususnya melalui tradisi tasawuf dan sufisme Islam, dan sering berinteraksi dengan tokoh spiritual yang menguatkan perannya sebagai pemimpin fisik dan spiritual

gita wirjawan-tanah jawa 300 tahun yang lalu

Dalam pandangannya, perjuangan melawan kolonialisme bukan hanya soal kemerdekaan politik, tetapi juga pembebasan spiritual dari penjajahan. Keyakinan ini tercermin dalam ramalan kuno Jawa, seperti ramalan Joyoboyo, yang sering dihubungkan dengan pergolakan besar di Nusantara. Diponegoro percaya bahwa ia ditakdirkan untuk memimpin rakyatnya menghadapi masa-masa sulit.

“Pangeran Diponegoro bukan hanya seorang pejuang, dia juga mampu menemukan peran baru di setiap tahap kehidupannya.” Peter Carey – EndGame

Kondisi Sosial dan Ekonomi Tanah Jawa

Pada awal abad ke-19, Tanah Jawa menghadapi berbagai krisis. Ketegangan etnis antara pendatang dari Kanton dan Fujian, yang diundang Belanda untuk menjalankan kebijakan fiskal baru, memicu ketidakpuasan di kalangan penduduk lokal. Kebijakan pajak tidak langsung yang diberlakukan Belanda sangat memberatkan rakyat desa, yang harus membayar pajak bahkan untuk kebutuhan dasar seperti pergi ke pasar.

Kondisi semakin memburuk dengan kegagalan panen, letusan Gunung Merapi, dan wabah kolera pertama pada tahun 1821. Krisis ini menjadikan kehidupan di pedesaan Jawa sangat sulit dan meningkatkan ketidakpuasan rakyat. Jika Diponegoro tidak mengambil tindakan, rakyat kecil mungkin sudah mulai bertindak sendiri, dipicu oleh kemarahan terhadap situasi yang tak tertahankan.

Pada akhirnya, semua faktor ini—ketidakadilan sosial, pajak yang memberatkan, krisis ekonomi, dan bisikan spiritual—menggiring Diponegoro untuk memulai Perang Jawa. Perang ini bukan hanya pertempuran fisik, tetapi juga sebuah perjuangan spiritual dan moral melawan penindasan Belanda dan kebijakan-kebijakan kolonial yang merugikan rakyat Jawa.

Dampak Perang Jawa Terhadap Belanda

Perang Jawa tidak hanya menghancurkan kekuatan militer Belanda di Jawa, tetapi juga merusak posisi keuangan mereka. Meskipun Diponegoro kaya dan memiliki banyak tanah, ia mengorbankan semua asetnya untuk perang. Carey menggambarkan perjuangan Diponegoro sebagai “semua atau tidak sama sekali,” tanpa kompromi, meskipun kekalahan sudah dekat.

Walaupun Diponegoro akhirnya kalah, pengaruhnya tetap terasa selama berabad-abad. Pada tahun 1913, saat gerakan nasionalis Indonesia mulai tumbuh, Diponegoro dipilih sebagai simbol perjuangan melawan penjajahan. Gambarnya terpampang di dinding rumah, menjadikannya sumber inspirasi bagi banyak pejuang kemerdekaan.

Warisan Ekonomi dan Sosial Belanda di Jawa

Carey juga membahas bagaimana Jawa berkontribusi secara ekonomi terhadap kemajuan Belanda. Selama abad ke-19, hasil dari tanah Jawa—melalui sistem cultuurstelsel—membantu Belanda membayar hutang nasional mereka dan membangun infrastruktur seperti jaringan kereta api. Bahkan, sebagian besar kekayaan Belanda pada masa itu berasal dari eksploitasi pulau Jawa. Hal ini menunjukkan bahwa kemakmuran Belanda pada masa itu tidak terlepas dari penderitaan rakyat Jawa.

peter carey-tanah jawa 300 tahun yang lalu

Transformasi Budaya dan Pengaruh Dunia Luar

Carey membahas pengaruh luar terhadap budaya dan teknologi di Nusantara, khususnya bagaimana inovasi dari India dan Tiongkok sering kali tidak diakui dalam sejarah Barat. Salah satu contoh menarik adalah Samuel Bentham, sekretaris Angkatan Laut Inggris, yang mengadopsi konsep bulkhead (dinding pemisah) dari kapal-kapal yang ia amati di Siberia.

 Konsep ini kemudian menjadi inovasi penting dalam pelayaran, membantu mencegah kapal tenggelam dengan cepat, seperti yang terjadi pada peristiwa Titanic.

Relevansi Sejarah bagi Generasi Muda

Dalam wawancara tersebut, Gita Wirjawan menyoroti fenomena amnesia historis, di mana banyak anak muda saat ini kurang tertarik mempelajari sejarah. Carey dan Gita sepakat bahwa memahami masa lalu adalah kunci untuk membangun masa depan yang lebih baik. Tanpa pengetahuan sejarah, generasi muda akan kesulitan memahami konteks yang membentuk dunia saat ini.

Carey memberikan contoh-contoh tokoh perempuan perkasa dari sejarah Indonesia, seperti Raden Ajeng Kartini dan Rukmini, yang berjuang melawan tradisi dan memperjuangkan hak perempuan untuk mendapatkan pendidikan yang setara. Mereka adalah simbol perjuangan perempuan yang berhasil membuka jalan bagi generasi berikutnya.