Dalam sebuah percakapan yang mendalam antara Gita Wirjawan dan Habib Jafar, kita disuguhkan dengan pemaparan yang memperinci tentang fenomena-fenomena modern dalam konteks agama, khususnya dalam merespons tantangan atheisme dan terorisme yang semakin meresahkan.
Tantangan Rasionalitas dalam Penafsiran Agama
Pertama-tama, kita dibawa pada sebuah refleksi tentang bagaimana agama-agama, terutama dalam tradisi Abrahamik, menghadapi tantangan rasionalitas. Terutama, kita diperkenalkan pada konsep bahwa pengajaran agama seringkali didasarkan pada aspek naqli, bukan aqli, yakni lebih berfokus pada dalil Al-Qur’an dan Sunnah, tanpa cukup memberikan ruang pada rasionalitas. Padahal, Islam sendiri memiliki panggilan untuk berpikir secara rasional, seperti yang ditunjukkan oleh banyak ayat dalam Al-Qur’an. Namun, ada kecenderungan untuk mereduksi agama hanya sebagai dogma identitas, yang menyebabkan polarisasi politik dan politisasi agama. Hal ini menyebabkan agama tidak lagi dianggap sebagai sumber kebijaksanaan spiritual, melainkan sebagai alat untuk mencapai kepentingan-kepentingan duniawi yang sempit.
Fenomena Ateisme dan Terorisme: Tantangan Baru dalam Wajah Modernitas
Dalam konteks ini, percakapan tersebut menyoroti peningkatan signifikan dalam fenomena atheisme dan terorisme, baik di negara-negara Barat maupun di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa kedua fenomena ini telah merambah berbagai segmen masyarakat, bahkan mencakup kalangan anak muda dan perempuan.
Tantangan terbesar dalam menghadapi fenomena ini adalah bagaimana memberikan pendekatan yang rasional dalam menjelaskan agama, tanpa mengabaikan nilai-nilai spiritual yang mendasarinya. Selain itu, juga penting untuk memperkuat dasar-dasar pemahaman agama yang baik agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh narasi-narasi ekstremis.
“ Nggak bisa akal digunakan untuk mengakali atau membodohi atau mengarahkan orang pada keinginan- keinginan kita yang sifatnya pragmatis subjektif.” Habib Jafar – Endgame
Menghadapi Tantangan Keberagamaan dalam Era Modern
Di tengah maraknya fenomena ateisme dan terorisme, penting bagi umat beragama untuk kembali kepada esensi ajaran agama mereka. Sebagai contoh, Islam menekankan pada konsep pencarian kebenaran yang tulus, yang membebaskan individu untuk berpikir rasional dan mencari pemahaman yang mendalam tentang keberadaan Tuhan.
Selain itu, penting juga untuk tidak menjadikan agama sebagai alat untuk memenuhi kepentingan duniawi semata, melainkan sebagai panduan dalam menjalani kehidupan yang bermakna dan berharga. Dengan demikian, kita dapat melawan polarisasi politik dan meningkatkan inklusi sosial yang menjadi tuntutan zaman modern.
Mendengar pembicaraan ini, kita bisa melihat bagaimana pandangan Hawking dan Einstein mencerminkan keragaman pemahaman tentang konsep Tuhan. Hawking, dalam karyanya “The Grand Design,” mengungkapkan pandangan bahwa Tuhan tidak campur tangan dalam semesta. Namun, dalam wawancaranya dengan TV Inggris, dia menegaskan bahwa jika seseorang ingin menganggap pengontrol alam semesta sebagai Tuhan, itu sah-sah saja. Pandangan ini menyoroti kompleksitas dalam pemahaman tentang keberadaan Tuhan.
“Saya lebih di kubu yang berhipotesa dan berpendapat bahwa teror itu sangat berkorelasi dengan agenda non-agama.” – Gita Wirjawan – Endgame
Di sisi lain, Einstein menyatakan keyakinannya pada kecerdasan tertinggi atau Tuhan impersonal. Baginya, keberadaan Tuhan tidaklah terkait dengan intervensi pribadi dalam urusan manusia, tetapi lebih pada ekspresi keberadaan yang mencerminkan cinta, rahmat, dan penghargaan terhadap manusia dan alam. Ini adalah pandangan yang menekankan pentingnya hubungan yang lebih abstrak antara manusia dan Tuhan, yang tidak selalu termanifestasikan dalam intervensi langsung.
Konsep ini juga mencerminkan gagasan bahwa hukum alam atau sunatullah adalah ekspresi dari kehendak Tuhan, yang memberikan manusia kebebasan untuk bertindak dengan akibat yang sesuai dengan perbuatannya. Namun, pada akhirnya, segala sesuatu akan dipertanggungjawabkan di hari perhitungan, berdasarkan rahmat dan keadilan Tuhan.
Pertukaran pandangan antara seorang sufi dan seorang zindiq atheis juga mengilustrasikan perdebatan yang abadi tentang keberadaan Tuhan. Ketika sufi menunjukkan bahwa kehadiran Tuhan dapat dilihat dalam keajaiban alam, zindiq atheis meragukan argumen tersebut dengan kejadian yang tampak tidak masuk akal. Namun, sufi menegaskan bahwa keberadaan alam semesta yang teratur dan indah menunjukkan adanya pencipta yang memiliki kebijaksanaan dan keindahan yang luar biasa.
Kesimpulannya, diskusi tentang Tuhan dan keberadaan-Nya melibatkan berbagai perspektif dan pemahaman yang kompleks. Meskipun ilmu pengetahuan terus berkembang, ada aspek-aspek dari keberadaan Tuhan yang mungkin tidak pernah bisa dipahami sepenuhnya melalui kacamata sains atau akal pikiran manusia. Dalam kompleksitasnya, keragaman pandangan ini mengundang kita untuk menjaga sikap terbuka dan saling menghormati terhadap keyakinan dan pemahaman orang lain tentang keberadaan Tuhan.
Kesimpulan
Percakapan antara Gita Wirjawan dan Habib Jafar mengingatkan kita akan kompleksitas tantangan yang dihadapi umat beragama dalam menghadapi era modern. Dengan memperkuat dasar-dasar pemahaman agama yang baik, merangsang pemikiran rasional, dan memperjuangkan inklusi sosial, kita dapat menjawab tantangan-tantangan tersebut dengan bijaksana dan bermakna.