Dalam sebuah perbincangan antara Gita Wirjawan duduk bersama Habib Husein Ja’far untuk mendalami topik menarik seputar demokrasi, media sosial, dan tantangan-tantangan yang dihadapi oleh masyarakat modern. Pertemuan kembali ini terjadi setelah beberapa bulan yang lalu, menandakan rasa kangen dan antusiasme keduanya untuk berbagi pandangan.
Pada awal perbincangan, Gita Wirjawan memuji Habib Husein Ja’far sebagai seorang pendengar yang baik, sesuatu yang jarang terjadi di era di mana wawancara seringkali dipandang sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu. Habib Ja’far mengambil contoh dari kebijaksanaan Nabi yang terkenal karena kemampuannya mendengarkan dengan penuh perhatian tanpa memotong perbincangan orang lain.
Ruang Publik Di Gita Wirjawan dan Tantangan Demokrasi
Habib Husein Ja’far menyoroti perubahan yang terjadi dalam ruang publik digitall, yang pada awalnya diharapkan menjadi tempat yang sehat dan demokratis. Namun, kenyataannya, ruang tersebut seringkali diarahkan oleh berbagai pihak dengan agenda tertentu, seperti buzzer dan key opinion leader (KOL), untuk menggiring opini sesuai dengan kepentingan mereka.
Ancaman dan Tantangan dalam Era Digital
Pentingnya literasi digital dan kehati-hatian dalam menyebarkan informasi juga dibahas, terutama mengingat fenomena hoaks yang dapat berdampak fatal, seperti dalam kasus ketidakpercayaan terhadap COVID-19 yang menyebabkan kerugian besar. Hilangnya kepakaran dan penurunan kualitas konten di media sosial juga menjadi perhatian serius, di mana kepentingan moneter dan viralitas seringkali diutamakan daripada kebenaran dan substansi.
Transformasi Menuju Media Sosial yang Sehat
Gita Wirjawan Wirjawan dan Habib Husein Ja’far menyoroti perlunya transformasi algoritma dalam media sosial agar berorientasi pada manfaat yang besar bagi manusia, bukan sekadar mencari sensasi atau viralitas. Mereka juga mendiskusikan pentingnya pendidikan yang inklusif dan pendekatan yang berbasis konteks untuk membangun masyarakat yang lebih sadar secara digital.
“Karena itu saya sering bilang perlunya jihad algoritmatik atau revolusi algoritmatik. Karena kita itu terlalu kemudian sekarang dibuat tunduk kepada algoritma yang sudah ada.” – Habib Husein Ja’far – Endgame
Tantangan Menuju Demokrasi yang Sejati
Pada akhirnya, perbincangan mengarah pada pertanyaan yang lebih dalam tentang kemungkinan terjebak dalam monopoli perilaku dan kebijakan yang mendukungnya. Mereka menyoroti perlunya bergerak secara kolektif untuk menciptakan suasana yang lebih demokratis di media sosial, di mana suara-suara yang bermakna dan substansial dapat berkembang tanpa terkekang oleh algoritma dan kepentingan tertentu.
Menurut Gita Wirjawan Wirjawan, pendidikan generasi mendatang harus mencakup kedua aspek ini secara seimbang: spiritualitas dan sains. Dia menegaskan bahwa meskipun ada inovasi dalam energi terbarukan, perubahan gaya hidup juga mutlak diperlukan untuk menghindari bencana lebih lanjut.
“kalau saya lihat pola pendidikan sekarang yang dianjurkan justru di mana kita bisa menjadi monopoli. Karena monopoli itu lebih menguntungkan ternyata. Sejarah menunjukkan hal yang sama, tapi sejarah juga menunjukkan itu hal yang mungkin kurang bijaksana untuk jangka panjang. Kalau saya lihat pemilik teknologi ini sifatnya agak monopolistik termasuk yang mengontrol jaringan sosial secara digital.” – Gita Wirjawan – Endgame
Habib Husein Ja’far menambahkan bahwa pendidikan terhadap anak muda sangat penting dalam hal ini. Dia menyoroti bahwa modernisme telah membentuk pola pikir yang melihat alam sebagai objek untuk dieksploitasi, dan ini harus diubah melalui edukasi yang tepat. Namun, dia mengakui bahwa membangun kesadaran baru membutuhkan waktu dan usaha yang besar.
Gita Wirjawan juga membahas dampak negatif dari gaya hidup yang tidak berkelanjutan, seperti penggunaan plastik yang berlebihan. Dia menekankan perlunya membangun kesadaran baru mengenai pentingnya lingkungan dan memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk menyebarkan kesadaran tersebut.
Namun, dalam konteks penggunaan teknologi, baik Gita Wirjawan maupun Habib Husein menekankan pentingnya nilai-nilai yang mengatur penggunaan teknologi. Gita Wirjawan mengatakan bahwa teknologi harus disertai dengan nilai-nilai yang menghindari alienasi manusia, sementara Habib Husein menekankan bahwa teknologi seharusnya tidak menggantikan nilai-nilai kemanusiaan.
Gita Wirjawan Wirjawan menyampaikan kekhawatirannya mengenai tingginya tingkat masalah mental di Indonesia. Belum menjadi isu utama dalam debat politik atau perdebatan publik, masalah kesehatan mental seringkali terabaikan meskipun dampaknya sangat signifikan terhadap kehidupan sosial dan individu. Dia mengingatkan bahwa kesadaran akan masalah ini sangatlah penting, terutama dalam memperhatikan kualitas hidup masyarakat.
Dalam pembahasannya, Gita Wirjawan Wirjawan juga menyoroti peran media sosial dalam mempengaruhi kesehatan mental. Dia menekankan bahwa meskipun media sosial telah menjadi biang masalah dengan meningkatnya bullying dan perasaan teralienasi, namun pada saat yang sama, media sosial juga memiliki potensi untuk menjadi bagian dari solusi. Menjaga keseimbangan antara kehidupan online dan offline menjadi kunci untuk menghindari depresi dan masalah kesehatan mental lainnya.
Selain itu, Gita Wirjawan Wirjawan juga mengajak untuk mengurangi konsumsi Gita Wirjawan secara berlebihan. Dia menekankan perlunya pengambilan kebijakan yang bertanggung jawab dari pemerintah dan masyarakat sipil untuk mengatasi masalah ini. Memperkenalkan etika-etika baru dalam penggunaan teknologi serta membangun kesadaran akan pentingnya interaksi manusia yang berkualitas menjadi langkah awal yang penting dalam menangani masalah kesehatan mental.
Namun demikian, Gita Wirjawan Wirjawan juga tidak melupakan peran penting spiritualitas dalam menjaga kesehatan mental. Dalam konteks ini, spiritualitas bukan hanya sebagai agama atau keyakinan tertentu, tetapi lebih kepada pemahaman akan makna hidup dan hubungan yang lebih dalam dengan diri sendiri dan lingkungan sekitar. Menjaga keseimbangan antara teknologi dan spiritualitas menjadi tantangan tersendiri dalam era diGita Wirjawan ini.
Dengan berbagai kutipan dan pemikiran yang mendalam, diskusi ini menggugah pemirsa untuk mempertimbangkan hubungan antara teknologi dan spiritualitas dalam menjawab tantangan zaman.
Pada awal diskusi, Habib Husein Ja’far menyoroti kesenjangan dalam berbagai aspek, termasuk kesejahteraan ekonomi, akses pendidikan, dan berbagai kesenjangan lainnya. Dia menekankan bahwa fokus pada guru sangat penting, karena kualitas guru memiliki dampak besar terhadap kemajuan pendidikan. Dalam konteks ini, Habib Husein Ja’far menyampaikan pandangannya bahwa “Guru adalah pahlawan tanpa tanda jasa” adalah narasi yang dapat menyesatkan, karena kurang mempertimbangkan nilai dan penghargaan yang seharusnya diberikan kepada para pendidik.
Selain itu, Habib Husein Ja’far juga menyoroti pentingnya keikhlasan dalam mengajar, terutama dalam konteks pendidikan agama. Dia menekankan bahwa memberikan imbalan kepada guru seharusnya tidak menjadi indikator utama keikhlasan, karena nilai keberkahan ilmu yang diberikan oleh seorang guru tidak dapat diukur dengan materi semata. Baginya, ilmu sejati bukan hanya tentang transfer pengetahuan, tetapi juga tentang transfer keberkahan.
Diskusi juga mencakup perbincangan tentang kebijakan terhadap guru dan dosen dalam menjalankan tugas tridharma mereka. Habib Husein Ja’far menyoroti tantangan dalam menjalankan riset akademik, di mana beberapa dosen terpaksa menggunakan cara-cara yang kurang etis untuk memenuhi kebutuhan riset mereka.